Bab 4. Serangan di Laboratorium

2 2 0
                                    

Ruangan laboratorium yang dingin dan penuh dengan peralatan elektronik tua terasa semakin sempit ketika bunyi alarm yang melengking mengisi udara. Raka menatap layar laptopnya, kursor berkedip menunggu perintah berikutnya, tetapi tangannya gemetar. Di seberang meja, Amira berdiri dengan wajah tegang, sementara Maya sudah bersiap di dekat pintu masuk, pistol kecilnya terangkat.

"Kau harus mulai sekarang, Raka," kata Amira tegas. "Jika kita tidak masuk ke sistem mereka dalam 15 menit, kita tidak akan punya kesempatan lagi."

"Aku tahu,"gumam Raka, mencoba menenangkan pikirannya.

"Fokus, Raka!" Maya menoleh, suara tembakannya tiba-tiba memecah keheningan. Sebuah drone kecil yang melayang di luar jendela hancur berkeping-keping. "Mereka datang lebih cepat dari perkiraan kita!"

Raka menarik napas dalam-dalam, kemudian mulai mengetik. Ia membuka file dekripsi yang telah ia siapkan sebelumnya, mencoba mengakses sistem Aurora melalui celah backdoor yang telah disebutkan Amira. Di layar, kode-kode rumit mulai bermunculan, sebuah labirin digital yang membutuhkan ketelitian sempurna.

---

Pintu laboratorium tiba-tiba bergetar keras, disusul suara langkah kaki berat di luar. Maya bergerak cepat ke sudut ruangan, berjongkok di balik tumpukan peralatan yang sudah usang. Ia memberi isyarat kepada Amira untuk berlindung, tetapi Amira tetap berdiri di dekat Raka, matanya tajam menatap pintu.

"Mereka akan masuk dengan kekuatan penuh," bisik Maya sambil memeriksa sisa amunisinya. "Kita tidak punya cukup senjata untuk melawan mereka."

Amira menjawab dengan nada dingin, "Itu sebabnya kita butuh waktu. Raka, apa kau sudah hampir selesai?"

"Aku baru memulai! Ini lebih rumit dari yang kukira!" jawab Raka frustrasi.

Pintu besi akhirnya terbuka dengan ledakan keras, serpihan logam beterbangan ke segala arah. Beberapa pria berpakaian serba hitam masuk, senjata otomatis di tangan mereka.

"Cari mereka!" salah satu dari mereka berteriak, suaranya menggema di ruangan besar itu.

Maya muncul dari tempat persembunyiannya, menembak dua kali dengan presisi. Salah satu pria jatuh, sementara yang lain berlindung di balik meja. Namun, jumlah mereka terlalu banyak, dan Maya tahu ia tidak bisa bertahan lama.

"Amira, bawa dia keluar dari sini!" seru Maya. "Aku akan menahan mereka!"

Amira menggeleng keras. "Jika kita pergi sekarang, tidak ada gunanya! Raka harus menyelesaikan ini di sini."

"Kalian bicara seperti aku ini robot yang bisa bekerja di bawah tekanan!" Raka berteriak, tetapi tetap mengetik dengan cepat.

---

Pertarungan di Dalam Laboratorium

Suasana menjadi semakin kacau. Maya terus menembak, menggunakan setiap sudut ruangan sebagai perlindungan. Namun, agen-agen Nethrone yang lebih terlatih mulai merangsek maju, menutup jarak dengan cepat.

Amira, yang menyadari situasi semakin berbahaya, mengambil langkah mendekati salah satu terminal tua di sisi ruangan. Ia membuka penutup mesin itu, mengeluarkan sebuah perangkat kecil yang menyerupai tongkat.

"Apa itu?" tanya Raka tanpa menghentikan kerjanya.

"Pemicu fail-safe," jawab Amira sambil memasangnya di salah satu port. "Jika mereka mendekat terlalu jauh, aku akan meledakkan seluruh ruangan ini."

Maya menoleh dengan tatapan tidak percaya. "Kau serius? Kau mau kita semua mati di sini?"

"Jika itu harga yang harus kita bayar untuk menghentikan Nethrone, maka ya," balas Amira dingin.

Raka berhenti sejenak, menatap Amira dengan ngeri. "Kita tidak akan sampai sejauh itu, kan?"

"Lakukan tugasmu, dan aku tidak perlu menekan tombol ini," jawab Amira tegas.

---

Di layar laptop Raka, proses infiltrasi mulai menunjukkan hasil. Ia menemukan jalur yang benar menuju inti sistem Aurora, tetapi aksesnya terus-menerus ditolak oleh lapisan proteksi yang lebih kuat.

"Mereka punya firewall dinamis," katanya sambil menggertakkan gigi. "Setiap kali aku membuka satu jalur, mereka menutupnya dengan cara berbeda."

Amira mendekat, matanya memperhatikan kode-kode yang bergerak di layar. "Gunakan protokol bypass-ku. Aku sudah mengintegrasikan celah itu ke sistem mereka sebelum aku kabur."

Raka mengangguk dan mengetikkan serangkaian perintah baru. Di layar, diagram jaringan mulai terbuka, menunjukkan titik-titik kelemahan di sistem Aurora.

"Aku hampir masuk," katanya dengan nada lega.

Namun, sebelum ia sempat menyelesaikan langkah terakhir, layar laptopnya tiba-tiba berubah menjadi hitam. Sebuah wajah muncul, tersenyum dingin-Dimas Pradipta.

"Kalian tidak pernah belajar, bukan?" suara pria itu terdengar jelas, meski berasal dari sistem digital. "Aku sudah menunggu kalian melakukannya. Sekarang, kau membawaku langsung ke lokasi ini."

Amira memukul meja. "Dia melacak kita!"

Dimas melanjutkan, "Kalian mungkin mengira bisa menghentikan Aurora, tetapi kalian hanya pion dalam permainan yang jauh lebih besar. Dan pion... tidak pernah bertahan lama."

---

Maya menembak ke arah layar, menghancurkan monitor, tetapi Dimas telah menghilang.

"Kita tidak punya banyak waktu," ujar Amira. "Dia pasti akan mengirim lebih banyak pasukan."

Raka mencoba memperbaiki koneksi laptopnya. "Aku masih bisa menyelesaikannya. Aku hanya butuh waktu beberapa menit lagi!"

Maya bergerak ke arah Raka, meraih bahunya. "Dengar, kalau kita mati di sini, semua ini akan sia-sia! Kita harus keluar sekarang."

Amira menatap mereka berdua, lalu pada perangkat fail-safe di tangannya. Dengan nada tegas, ia berkata, "Kalian pergi. Aku akan bertahan di sini dan memastikan mereka tidak mengambil data ini."

Raka terkejut. "Apa maksudmu? Kita tidak bisa meninggalkanmu!"

"Ini bukan tentang aku!" Amira membentak, wajahnya penuh kemarahan. "Ini tentang menghentikan mereka. Pergilah sekarang, sebelum terlambat!"

---

Maya menarik Raka dengan paksa. "Kita harus pergi, sekarang!"

Raka mencoba melawan, tetapi kekuatan Maya jauh lebih besar. Mereka berlari keluar dari laboratorium melalui pintu belakang, menyusuri jalan setapak yang gelap menuju hutan. Di belakang mereka, suara tembakan dan ledakan mulai menggema, tanda bahwa pertempuran di dalam telah mencapai puncaknya.

"Apa yang terjadi pada Amira?" tanya Raka, suaranya bergetar.

Maya tidak menjawab. Ia terus berlari, memimpin jalan melalui kegelapan.

Ketika mereka mencapai jarak yang cukup jauh, sebuah ledakan besar menghancurkan keheningan malam. Cahaya api menerangi langit, menandakan kehancuran Laboratorium Kupu-Kupu.

Raka berhenti, menatap ke belakang dengan mata lebar. "Dia... dia benar-benar melakukannya."

Maya menghela napas panjang, menatap Raka dengan tatapan dingin. "Dia tahu ini mungkin satu-satunya cara untuk menghentikan mereka sementara."

Raka menggigit bibirnya, merasa bersalah dan marah pada saat yang sama. "Apa ini semua sia-sia?"

Maya menepuk pundaknya. "Tidak. Kita masih punya data. Dia memberikan kita waktu, dan itu cukup untuk membuat langkah selanjutnya."

Raka mengangguk pelan, meskipun hatinya dipenuhi rasa sakit. Ia tahu bahwa ini baru permulaan dari sesuatu yang jauh lebih besar dan lebih berbahaya.

Shadow of NethroneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang