Terowongan menuju fasilitas Moradin dingin dan gelap, hanya diterangi oleh cahaya kecil dari senter di tangan Maya. Aroma lembap bercampur dengan bau besi karatan memenuhi udara, memberikan suasana suram yang mencekam. Raka mengikuti Maya dengan langkah hati-hati, sesekali melirik ke belakang seolah-olah takut akan sesuatu yang tidak terlihat.
“Masih jauh?” bisik Raka, suaranya terdengar gemetar di antara gema dinding batu.
“Tidak jauh,” jawab Maya singkat, matanya tetap fokus pada peta holografis kecil di tangannya. “Begitu kita mencapai pintu keluar, kita akan berada di ruang penyimpanan bawah tanah fasilitas.”
Raka hanya mengangguk. Ia tidak pernah merasa begitu jauh dari zona nyamannya. Dunia digital adalah wilayahnya, tempat di mana ia merasa berkuasa. Tapi di sini, dalam kegelapan terowongan yang asing ini, ia merasa kecil dan tidak berdaya.
Setelah beberapa menit berjalan dalam hening, mereka tiba di sebuah pintu baja besar dengan tanda peringatan berwarna merah: “Akses Terbatas. Hanya Personel Berwenang.” Maya segera mengeluarkan perangkat hacking kecil dari sakunya, sebuah alat yang menyerupai tablet dengan layar penuh kode.
“Kau tahu cara membuka ini, kan?” tanya Raka, mencoba menyembunyikan rasa cemasnya.
“Tentu saja,” jawab Maya tanpa ragu, jarinya menari di atas layar perangkat. “Aku pernah menghadapi pintu seperti ini sebelumnya. Mereka hanya mengandalkan kode enkripsi standar.”
Beberapa detik kemudian, terdengar bunyi klik pelan. Pintu itu terbuka, memperlihatkan lorong panjang yang diterangi lampu neon putih. Lorong itu terlihat bersih, hampir steril, dengan dinding logam yang mengkilap.
“Selamat datang di Moradin,” kata Maya sambil melangkah masuk.
Raka mengikuti di belakang, matanya tidak bisa berhenti memperhatikan setiap detail di sekitar. Ini adalah dunia yang sama sekali berbeda dari terowongan gelap yang baru saja mereka lewati—dunia yang dingin, terorganisir, dan penuh ancaman tak terlihat.
Lorong itu kosong, hanya dihiasi dengan kamera pengintai di setiap sudutnya. Maya segera mengeluarkan perangkat lain, sebuah alat kecil berbentuk kubus.
“Ini akan mengacaukan kamera untuk sementara,” jelasnya, menekan tombol di sisi perangkat. “Tapi kita harus bergerak cepat. Mereka akan tahu ada sesuatu yang salah jika sistem ini mati terlalu lama.”
Mereka melangkah dengan hati-hati, melewati beberapa pintu dengan akses biometrik yang Maya berhasil buka menggunakan alatnya. Di balik setiap pintu, mereka menemukan ruangan-ruangan penuh dengan peralatan penelitian, layar monitor besar yang memproyeksikan diagram kompleks, dan tabung-tabung kaca yang berisi cairan hijau misterius.
“Apa semua ini?” tanya Raka, menatap tabung-tabung itu dengan ngeri.
Maya menggeleng. “Eksperimen mereka. Aku tidak tahu persis apa tujuannya, tapi jelas ini bukan untuk sesuatu yang baik.”
Mereka terus bergerak hingga mencapai sebuah ruangan besar yang terlihat seperti gudang. Di tengah ruangan, terdapat meja logam dengan beberapa alat bedah di sekitarnya.
Dan di atas meja itu, terbaring tubuh Amira Hartono.
__
Raka terhenti di pintu masuk ruangan, napasnya terhenti. Melihat Amira dalam keadaan seperti itu membuatnya merasa dingin di seluruh tubuhnya.
“Dia masih hidup?” tanyanya pelan, berharap ada jawaban positif.
Maya mendekati meja, memeriksa denyut nadi di leher Amira. Ia menghela napas panjang. “Tidak. Dia sudah tiada. Tapi bio-implannya mungkin masih aktif.”
Raka menelan ludah, berusaha menahan emosi yang mulai mendidih. Ia melangkah mendekat, melihat wajah Amira yang terlihat damai meskipun tubuhnya dingin dan kaku.
“Bagaimana cara kita mengakses datanya?” tanyanya akhirnya.
Maya mengeluarkan alat kecil dari tasnya, menyerupai perangkat scanner. “Bio-implan ini memiliki chip penyimpanan data. Jika aku bisa memindai chip-nya, kita bisa mengunduh semua informasi yang tersimpan.”
Maya memasang perangkat itu di sisi kepala Amira, tepat di bawah telinga. Perangkat itu mulai bekerja, mengeluarkan cahaya biru yang lembut.
“Berapa lama?” tanya Raka, mencoba mengalihkan pikirannya dari rasa bersalah.
“Lima menit, kalau kita beruntung,” jawab Maya sambil tetap fokus pada perangkatnya.
Musuh Mendekat
Namun, keberuntungan tampaknya tidak berpihak pada mereka. Suara langkah kaki berat terdengar dari lorong di luar. Raka segera menoleh, matanya membelalak.
“Mereka datang,” katanya.
Maya menyelesaikan proses pemindaian dengan cepat, melepas perangkatnya dan memasukkan data yang berhasil diunduh ke dalam tablet kecil. “Kita harus pergi sekarang.”
Pintu di ujung ruangan terbuka, dan lima pria bersenjata lengkap masuk, senjata mereka terarah langsung ke Raka dan Maya.
“Serahkan datanya,” salah satu dari mereka berkata dengan nada tegas.
Maya menarik Raka ke belakang meja, mengambil pistolnya, dan menembak ke arah para pria itu. Dua dari mereka jatuh, tetapi yang lain segera membalas tembakan.
“Kita tidak bisa melawan mereka!” teriak Raka, tubuhnya berjongkok di balik meja.
“Kita tidak perlu melawan,” jawab Maya, meraih granat asap dari tasnya. Ia melemparkannya ke tengah ruangan, menciptakan kabut tebal yang mengaburkan pandangan musuh. “Kita hanya perlu bertahan.”
Dalam kekacauan, Maya menarik Raka menuju pintu lain di sisi ruangan. Mereka berlari melewati lorong-lorong yang kini penuh dengan suara alarm.
“Ke mana kita pergi sekarang?” tanya Raka, terengah-engah.
“Ke atap,” jawab Maya. “Ada drone transportasi di sana. Itu satu-satunya cara kita keluar dari sini.”
Mereka terus berlari, menghindari tembakan dari penjaga yang mengejar mereka. Raka merasa jantungnya hampir meledak, tetapi ia tahu mereka tidak bisa berhenti.
Akhirnya, mereka mencapai tangga darurat yang mengarah ke atap. Maya membuka pintu dengan paksa, dan mereka keluar ke udara malam yang dingin. Di tengah atap, sebuah drone besar dengan kabin terbuka sedang bersiap untuk lepas landas.
“Naik!” seru Maya, mendorong Raka ke arah drone.
Mereka berdua melompat masuk tepat saat mesin drone mulai menyala. Penjaga di bawah terus menembak, tetapi drone itu perlahan naik ke udara, menjauh dari fasilitas Moradin.
---
Di dalam kabin drone, Raka duduk terdiam, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Di sebelahnya, Maya membuka tablet dan memeriksa data yang berhasil diunduh.
“Apa kau menemukannya?” tanya Raka.
Maya mengangguk. “Kita punya akses ke inti sistem Aurora. Tapi kita masih harus mencari cara untuk menggunakannya.”
Raka menghela napas panjang, merasa lega meskipun tahu bahwa ini bukan akhir dari perjalanan mereka.
“Lalu apa langkah kita berikutnya?” tanyanya.
Maya menatapnya dengan serius. “Kita pergi ke Citadel. Waktu kita semakin sedikit, dan itu adalah tempat di mana semua ini akan berakhir.”
Drone terus terbang menuju kegelapan malam, membawa mereka lebih dekat ke pertempuran terakhir melawan Nethrone.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shadow of Nethrone
Misterio / SuspensoDalam dunia yang semakin terkoneksi, kebenaran sering terkubur di bawah tumpukan data dan kode. Raka Ardian, seorang hacker jenius dengan masa lalu kelam, tidak pernah mencari masalah besar. Namun, satu malam yang seharusnya hanya menjadi pekerjaan...