[1.] Kabur

1.8K 113 1
                                    

"Gimana? Lo bisa nggak, loncat tanpa gue tolongin?" Sena memberikan botol minuman berperisa anggur untuk Cessa. Terakhir, dia membersihkan keringat yang sudah meluncur di pelipis gadis itu.

Cessa tersenyum kecut, setelahnya meminum botol itu. "Thank's." katanya. Dan, dia menghembuskan napasnya lega. "Gue tadi sempet ketauan, sih, sebenernya. Cuma, ya udalah. Gue bisa ngatasinya!" Cessa meneguk lagi minuman itu.

Sena duduk di sebelah Cessa. Meneliti gadis itu. Sebenarnya, Sena malas selalu saja mencari seribu satu cara untuk meloloskan Cessa dari pelajaran itu. Selalu saja, Cessa menatap dirinya yang duduk di belakang pojok dengan tatapan memohonnya, seperti 'Ayo cabut, please. Gue males' Dan, mau tidak mau, Sena akan mengabulkan keinginan Cessa. Satu alasan Sena; dia tidak bisa melihat wajah Cessa dengan tatapan memohon.

Sena mengacak rambut Cessa. "Terakhir, ya, gue bantu lo. Lo udah kelas tiga, Cess. Gue juga nggak bisa terus-terusan bantuin lo buat bolos mata pelajaran tertentu. Ya, sekali-kali, lah, lo dengerin kata guru. Ya, walaupun, lo nggak seberapa ngerti. Yang penting, lo nggak absen!" Sena tersenyum getir.

Cessa menepis tangan itu. Walaupun, kenyataannya, Sena benar. Cessa sebenarnya juga ingin mengikuti pelajaran ini dengan baik. Ya, seperti teman-teman yang lainnya. Namun, entah mengapa, Cessa sudah malas untuk menopang dagunya menatap layar LCD pembelajaran, ataupun papan tulis yang penuh dengan goresan tinta.

Pasti, akan ada rumus para bola, lagi. Atau, rumus arus bolak-balik AC. Ya, yang paling penting, pasti ada rumus-rumus fisika yang rumit. Bayangan hukum-hukum sudah ada di pikirannya. Hukum Newton, Hukum Kepler. Astaga, Cessa tidak suka dengan pelajaran itu. Apalagi, kemarin dia harus mengerjakan soal tentang gaya Laurent. Oh, em ji, helo. Dan, dulu, Cessa pernah maju hanya untuk di hukum karena tidak bisa mengerjakan rumus luas bagi penampang. Ya, yang Cessa tau selama pelajaran Fisika yang dia dapatkan sejak SMP adalah gaya gravitasi bumi. Suatu hal yang sudah pasti itu. Jawabannya juga hanya satu, sederhana, dan mudah diingat. Karena bumi mempunyai daya tarik magnet yang sangat besar. Itu yang selalu Cessa ingat.

"Besok-besok, biar gue cabut sendirian! Gue nggak butuh lo lagi!" katanya angkuh. Dia berdiri dari duduknya. Dan, dia mulai menekuk lengannya di depan dada. "Lo udah nggak sayang lagi sama gue! Benci gue sama lo!"

Sena menggeleng. Anak ini, selalu saja ingin mengumpat kemarahannya. Sena hanya menarik senyum simpul. Dia ingin menetralisir rasa amarah yang berada di dalam dirinya. "Kalau gue nggak sayang sama lo, gue yakin seratus persen, gue nggak bakalan mau dicap sebagai anak pembolos di setiap jam pelajaran. Ya, mending gue jaga nama baik gue, lah, daripada ikutin kemauan lo itu!" kata Sena. Dia menarik lengan gadisnya itu.

Cessa melirik ke arah Sena di belakangnya. Lelaki itu juga menatapnya. Mata Sena itu hitam legam. Siapa saja yang menatapnya pasti akan jatuh hati. Bagaimana, ya, Cessa tidak bisa mendeskripsikan tentang diri Sena. Intinya, Sena berkulit kuning. Dia, terlihat sangat tampan. Hidung mancungnya, sangat menggemaskan. Pipi yang menguliti rahang kokohnya, sangat terlihat tegas. Tatapan mata Sena itu sangat menenangkan. Tidak terlalu tajam. Cessa harap, Sena akan tetap ada di sampingnya untuk menjadi pelindungnya.

Di sana, Sena tersenyum getir. Lagi-lagi, mengacak rambut gadis itu. Menarik tubuh mungilnya yang hanya memiliki tinggi sebatas dadanya. Mendekapnya dengan erat. Oke, ini hanya spoiler saja, mereka sudah berpacaran selama dua tahun. Dan, banyak sekali masa-masa sulit yang mereka lalui. Ada kalanya ketika Sena harus menelan ludahnya, saat Cessa tersenyum kepada lelaki lain selain dirinya. Dan, ada kalanya juga, ketika Cessa harus berwajah merah padam karena Sena memberikan senyumnya untuk perempuan lain.

Love or Leave ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang