[17.] Berjuang Melegalkan

651 64 1
                                    

Itu bukan masalah mudah untuk Arkan, ketika dia harus memulai untuk menuju keakhiran. Tapi, entalah, Arkan sendiri masih belum mengerti. Mengapa dia harus memulai, pada akhirnya dia sudah tahu kelanjutannya. Semuanya akan berakhir. Dan pasti sia-sia. Bukankah itu malah membuang waktu Arkan saja?

Tapi untuk kali ini, Arkan tidak akan membiarkan dia pergi. Tak akan membiarkan dia menghilang, sebelum Arkan bisa menggapainya. Walau sudah tergapai pun, Arkan juga tidak punya pikiran untuk membiarkannya pergi.

Arkan menatap Tara dongkol, "Tar." lirihnya.

Tara tak menggubris, dia tetap berjalan ke arah rak buku tertinggi di arah jam sembilan, sebagai pembatas ruangan untuk membaca. Dia meneliti beberapa buku panduan yang ia butuhkan nanti pada pelajaran jam ke 7-8.

Saat mengambil kamus Bahasa Mandarin, dia mulai melenguh kaget. Sontak kamus setebal setengah jengkal, yang sangat berat itu mulai melayang pada punggung Arkan. "Lo bisa nggak, sih, diem!" sentaknya.

Arkan mengatupkan bibirnya, dan mulai mengacak rambut hitamnya. Kenapa sulit sekali mengambil hati seorang Tara. "Boleh, ya?"

"Nggak jelas!"

Wah, Arkan semakin suka dengan cewek yang malu-malu kucing, garis miring jual mahal, atau cewek yang masih menilai seberapa besar perjuangannya. "Ya udah, boleh!" Arkan menjawab keinginannya sendiri.

"Nggak, ya, nggak!" sentaknya lagi.

Mungkin dia mulai salah langkah, mengapa harus menyentak Arkan. Arkan itu orangnya malah senang, kalau ada cewek yang masih saja berusaha menghindar, seperti dirinya. Tuh, Arkan makin senyum-senyum cengengesan.

Jijik.

"Kenapa? Makanya, kasih gue alasan. Kenapa gue nggak boleh anterin lo pulang?"

Tara mendecak perlahan. Sabar, Tar, sabar. Lebih baik digangguin Arkan, dari pada harus dipanggil Pak Kamto di ruang BP. Uh, tarik napas lebih dalam lagi, Tar.

Tara menutup mata. Menutup akses keseluruhan mukanya dengan kamus Bahasa Mandarin. "Kenapa, sih, susah banget nyuruh lo menghindar dari gue? Jauh-jauh sana!" umpatnya.

Salah langkah lagi. Tolong, ada air? Arkan itu orangnya tidak pernah mau peduli. Walaupun dia meminta, namun Tara tak bisa mengabulkan keinginannya, Arkan bakalan terus mengeruk Tara untuk bisa menurutinya. Jadi, percuma seorang Arkan bertanya, ujung-ujungnya dia juga bakalan tidak peduli dengan respon Tara.

"Oke, kalau gue pergi, berarti lo setuju, ya?" Arkan mengedipkan mata satu. Tersenyum pepsodent. Dan itu bakalan menjadi menakutkan, jika dalam wajah yang seperti itu malah terekam menjadi mimpi seorang Tara.

"Aduh, gue capek!"

"Ya udah, entar pulangnya gue anter, nanti gue pijitin," senyum Arkan semakin heboh.

Tara tak mendengarkan, sekali memberikan wajah inonsen, lalu meninggalkan Arkan yang masih mengedipkam mata berulang-ulang, dalam pose yang ... Menjijjkan.

"NGGAK!"

"I love you, Tar!" teriakan Arkan membuat wajahnya terpaksa harus ditutupi dengan kamus Mandarin.

Ew.

Ini benar-benar hari yang menyebalkan, dari hari-hari yang paling menyebalkan.

Sabar, Tar. Kalau terlalu benci, nanti jatuhnya malah jadi cinta.

Namun, perkataan itu, tak berlaku untuk Tara.

Jadi, lebih baik, Tara memilih dipanggil Pak Kamto ke ruang BP, daripada dia harus menatap wajah Arkan terus-terusan.

Love or Leave ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang