CHAPTER 8

1 1 0
                                    

Siang itu, matahari mulai condong ke barat. Bulan duduk di halaman rumah, menatap langit yang mulai memerah. Angin sepoi-sepoi meniup rambutnya yang terurai, sementara Bintang sedang duduk di teras, sibuk dengan kayu dan tali, membuat pagakan dari bahan seadanya.

"Mas," panggil Bulan dengan suara pelan.

Bintang tidak langsung menjawab, dia masih memfokuskan diri pada pekerjaannya, memasang tali di pagar untuk menyelesaikan pagakan yang sedang dibuat.

"Pak RT pelit nemen, ya? Jambu karo manggane mateng, tapi ora pernah dibagi-bagi meng dewek," lanjut Bulan sambil mengerling ke arah rumah Pak RT yang terlihat di kejauhan.
(Pak RT pelit banget, ya? Jambu sama mangganya matang, tapi nggak pernah dibagi-bagi ke kita,)

Bintang hanya mengangguk tanpa menoleh. "Iya, emang, tapi ari koen gelem, ora usah diomongi. Mas lagi sibuk."
(Iya, emang, tapi kalau kamu mau, nggak usah diomongin. Mas lagi sibuk.)

Bulan melangkah mendekat, melihat kakaknya yang sedang memotong tali. "Mas, Mas kan bisa bantu nyong," katanya dengan senyum nakal.
(Mas, Mas kan bisa bantu aku,)

Bintang menatapnya sejenak. "Bantu apa?"
(Bantu apa?)

"Eum Mas, wit jambu karo wit Pak RT wis mateng, lho. Nyong pengen nyoba."
(Eum Mas, pohon jambu sama mangga Pak RT udah mateng, lho. Aku pengen coba.)

Bintang berhenti sejenak, menatap adiknya yang sudah mulai terlihat bersemangat. "Aduh, Bulan. Aja nggolet masalah maning."
(Aduh, Bulan. Jangan cari masalah lagi.)

Bulan tersenyum lebar, lalu duduk di sebelah Bintang. "Mas, kue dudu nggolet masalah. Dewek kur pan mangan buah sing wis tiba neng lemah, kan?"
(Mas, itu bukan cari masalah. Kita cuma mau makan buah yang udah jatuh ke tanah, kan?)

Bintang menghela napas, menyerah. "Ya wis, koen jalan bae. Mas mberesi kie ndisit."
(Ya udah, kamu jalan aja. Mas beresin ini dulu.)

Bulan melompat berdiri dengan cepat. "Yuh, Mas! Dewek petik buahe!"
(Ayo, Mas! Kita petik buahnya!)

---

Menjelang sore, cuaca terasa lebih sejuk. Bulan dan Bintang berjalan perlahan menuju rumah Pak RT, melewati jalan setapak yang di sisi kirinya berdiri kokoh pohon jambu dan mangga. Udara sejuk semakin membuat suasana siang itu terasa lebih santai, sementara bayangan pohon mulai memanjang, menandakan waktu hampir menuju sore.

"Mas, dileng kue! Jambu-jambune gede-gede nemen!" seru Bulan dengan mata berbinar.
(Mas, lihat tuh! Jambu-jambunya gede-gede banget!)

Bintang hanya mengangguk sambil melangkah perlahan. "Iya, ngerti. Tapi koen serius, Bulan?"
(Iya, tahu. Tapi kamu serius, Bulan?)

Bulan tidak menjawab, melainkan berlari menuju pohon jambu yang tumbuh dekat dengan jalan setapak. Ia memanjat dengan gesit, seperti yang sering dilakukannya sejak kecil, menggunakan kaki dan tangannya untuk memanjat cabang pohon.

"Yuh, Mas! Jambu kie wis wayahe dipetik!"
(Ayo, Mas! Jambu ini udah waktunya dipetik!)

Bintang masih ragu, tapi akhirnya mengikuti adiknya yang sudah hampir mencapai cabang pohon. "Bulan, aja terlalu duwur. Ari Pak RT ngerti, dewek bisa di ganyami."
(Bulan, jangan terlalu tinggi. Kalau Pak RT tahu, kita bisa di marahin.)

Bulan dengan cepat memetik beberapa jambu yang sudah matang, lalu melemparkan buah-buah itu ke bawah. "Mas, tangkap!"

Bintang buru-buru menangkupkan tangannya dan berhasil menangkap dua buah jambu sekaligus. "Aduh, alon-alon oh. Mas ora bisa gerak secepet kilat kayak koen."
(Aduh, pelan-pelan dong. Mas nggak bisa gerak secepat kilat kayak kamu.)

Mereka berdua tertawa kecil, tapi belum selesai. Di sebelah pohon jambu, pohon mangga yang lebih besar memikat perhatian Bulan.

"Mas, coba dileng kue! Manggane gede nemen! Dewek kudu njukut napa!"
(Mas, coba lihat itu! Mangganya gede banget! Kita harus ambil juga!)

Bintang menatap pohon mangga dengan ragu. "Bulan, aja. Ngko ketawan, pimen?"
(Bulan, jangan. Nanti ketahuan, gimana?)

"Tapi kan dewek butuh," jawab Bulan sambil tersenyum nakal. "Ayo, Mas!"
(Tapi kan kita butuh)

Dengan sedikit rasa khawatir, Bintang akhirnya mengikuti. Bulan sudah memanjat lagi, kali ini ke pohon mangga. Dengan cekatan, ia memetik beberapa buah yang hampir matang dan melemparkan satu ke Bintang.

"Tangkap!"

Bintang berhasil menangkap mangga itu, meskipun dengan sedikit kesulitan. "Koen kie, Bulan. Ari Pak RT sewot, koen sing njawab, ya."
(Kamu ini, Bulan. Kalau Pak RT marah, kamu yang jawab, ya.)

Bulan melompat turun dari pohon mangga. "Gampang, Mas. Ari Pak RT takon, ngomong bae dewek lagi survei nggo proyek sekolah."
(Gampang, Mas. Kalau Pak RT tanya, bilang aja kita lagi survei untuk proyek sekolah.)

Mereka tertawa pelan, tapi tiba-tiba terdengar suara langkah kaki.

"Sapa kue?" tanya Bintang, panik.
(Siapa itu?)

"Aja ngileng mana!" Bulan menarik tangan Bintang, menyuruhnya bersembunyi di balik pohon.
(Jangan lihat ke sana!)

Mereka berdua bersembunyi sambil menahan napas. Dari kejauhan, terlihat Pak RT yang sedang berjalan ke arah rumahnya. Pak RT tampak tidak menyadari kehadiran mereka berdua.Setelah beberapa menit, mereka keluar dari persembunian, bernafas lega.

"Yuhu!" seru Bulan dengan riang.

Bintang menggelengkan kepala sambil tersenyum kecil.

Sesampainya di rumah, mereka berdua duduk di dapur, membuka kantong plastik dan menikmati hasil "petualangan" mereka.

"Mas, dewek olih jambu karo mangga enak nemen, kan?" Bulan mengunyah dengan senyum puas.
(Mas, kita dapat jambu dan mangga enak banget, kan?)

Bintang hanya mengangguk sambil menggigit mangga yang baru saja dipetik. "Iya, enak nemen. Kabeh usaha kue ora sia-sia."
(Iya, enak banget. Semua usaha itu nggak sia-sia.)

Bulan tertawa lepas. "Tapi aja ngomong sapa-sapa, ya. Kie dadi rahasiane dewek."
(Tapi jangan bilang siapa-siapa, ya. Ini jadi rahasia kita.)

Bintang hanya menganggukkan kepalanya saja dan lanjut mengunyah lagi, tampak menikmati buahnya.

Bulan tersenyum lebar, puas dengan hasil petualangannya.

---

Ketika matahari hampir sepenuhnya tenggelam, Bulan dan Bintang duduk bersandar di dinding dapur, menikmati buah yang mereka petik. Mereka tak bisa menahan tawa mengingat petualangan mereka yang hampir ketahuan. Namun, mereka berdua tahu bahwa ini adalah salah satu kenangan yang tak akan mudah dilupakan.

"Mas," kata Bulan sambil menyendok sepotong jambu ke mulutnya, "Dewek nakal nemen, ya?"
(kita nakal banget, ya?)

Bintang menoleh ke adiknya, tersenyum kecil. "Kue dudu nakal, Bulan. Kue cuma aksi cilik-cilikan sing seru. Toligen, Pak RT ora bakal ngerti ko."
(Itu bukan nakal, Bulan. Itu cuma aksi kecil-kecilan yang seru. Lagian, Pak RT nggak bakal tahu kok.)

Bulan tertawa. "Iya, kan? Ari sampe ngerti, mungkin dewek bisa nggawe alesan sing apik."
(Iya, kan? Kalau sampai tahu, mungkin kita bisa buat alasan yang bagus.)

"Alasan apa?" tanya Bintang penasaran.

"Ngomong bae dewek pan mbantoni mbersihi kebon."
(Bilang aja kita mau bantuin bersihin kebun.)

Bintang mendengus. "Koen kie, Bulan. Ari bener-bener dijak mbantoni, dewek malah keentengan waktu nggo mangan buahe."
(Kamu ini, Bulan. Kalau bener-bener diajak bantuin, kita malah kehabisan waktu buat makan buah.)

"Mas, tenang bae. Kue cuma guyonan. " jawab Bulan, matanya berbinar.
(Mas, tenang aja. Itu cuma lelucon)

Bintang memutar matanya. "Nakal temen sih koen."
(Nakal banget sih kamu.)

Bulan tertawa lebar. "Iya, emang. Tapi kie dadi kenangan seru."
(Iya, memang. Tapi ini jadi kenangan seru.)

Bintang hanya tersenyum, meski merasa sedikit bersalah, tapi jauh di dalam hatinya, dia menikmati setiap detik petualangan mereka.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 03 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Bulan merindukan BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang