Shea, seorang gadis biasa yang awalnya hanyalah penggemar setia Kaizen, seorang idol terkenal, tidak pernah menyangka hidupnya akan berubah begitu rumit. Dari sekadar kekaguman sebagai fans, takdir mempertemukan mereka secara nyata, membuat perasaan...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Shea melangkah cepat memasuki lorong rumah sakit dengan napas yang tidak teratur. Arsya berjalan di sampingnya, berusaha menjaga ketenangan meskipun jelas terlihat kecemasan di wajahnya. Sesekali, Arsya melirik Shea, tetapi ia tidak berkata apa-apa. Mereka berdua akhirnya tiba di depan ruang tunggu ICU. Di sana, Papa Andra dan Kaizen sudah menunggu. Wajah mereka seperti memancarkan ekspresi yang tak bisa dijelaskan lagi, antara sedih, tegang dan cemas, entah semuanya bercampur menjadi satu.
"Papa..." panggil Shea dengan suara bergetar.
Papa Andra menoleh, matanya terlihat lelah dan sembab. Ia berdiri dan menghampiri Shea, menepuk pundaknya pelan. "Shea... akhirnya kamu datang."
"Ada apa, Pa? Apa yang terjadi dengan Mama?" tanya Shea dengan nada panik.
Andra menarik napas panjang sebelum menjawab. "Mama kamu, Andini... Dia terkena kanker ovarium, Shea. Stadium akhir."
Shea tertegun. Dunia di sekitarnya terasa berhenti. "Apa... kanker?" ulangnya, seolah ingin memastikan ia tidak salah dengar.
Papa Andra mengangguk perlahan. "Mama kamu sudah berjuang melawan kanker ini sejak lama. Sebenarnya, sejak pertama kali Mama menemui kamu waktu itu, dia sudah didiagnosis kanker ovarium. Dia tahu waktu yang dimilikinya mungkin tidak banyak, jadi dia ingin memperbaiki hubungannya denganmu."
Shea menatap ayahnya dengan mata berkaca-kaca. "Kenapa... kenapa Papa nggak pernah cerita?" tanyanya, suaranya hampir pecah. Ia benar-benar tidak menyangka dengan apa yang ia dengar ini.
"Karena itu permintaan Mama kamu, She. Dia nggak mau kamu tahu, dia nggak mau kamu khawatir." Andra mencoba menahan tangisnya, tetapi suaranya mulai bergetar. "Mama sempat sembuh setelah menjalani kemoterapi beberapa kali, tapi kanker itu kembali, Shea. Kali ini lebih agresif, dan... dokter bilang mereka sudah berusaha melakukan yang terbaik. Sekarang semuanya hanya tergantung mukjizat Tuhan."
Shea merasa tubuhnya lemas. Ia hampir jatuh jika Arsya tidak dengan sigap memeganginya. "Shea, kamu nggak apa-apa?" tanya Arsya khawatir.
Shea tidak menjawab. Matanya kini terarah ke pintu ICU yang tertutup rapat. Di balik pintu itu, ia tahu, Andini, ibunya, sedang berjuang antara hidup dan mati. Air matanya mulai mengalir tanpa bisa ditahan.
"Shea," suara Kaizen memecah keheningan. Ia berdiri mendekat, wajahnya penuh kekhawatiran. "Kamu harus kuat."
Namun, sebelum Kaizen bisa mendekat lebih jauh, Arsya sudah lebih dulu menarik Shea ke dalam pelukannya. "Shea, nggak apa-apa. Kalau kamu mau nangis, nangis aja," ujar Arsya dengan suara lembut. Ia mengelus-elus rambut Shea, menenangkan gadis yang dicintainya.
Shea tidak bisa lagi menahan tangisnya. Ia menangis di dada Arsya, merasakan hangatnya pelukan itu. Kaizen yang berdiri tidak jauh dari mereka hanya bisa memandangi dengan perasaan campur aduk. Ada rasa cemburu yang tiba-tiba muncul di hatinya. Apakah ini artinya Shea lebih memilih Arsya? Apakah dirinya sudah kalah?