Chapter 36: love in hurt

13 10 2
                                    

Shea duduk terpaku di samping tempat tidur Andini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Shea duduk terpaku di samping tempat tidur Andini. Tangannya dengan lembut mengusap punggung tangan sang ibu yang tampak kurus dan pucat. Mesin-mesin di sekitar tempat tidur terus berbunyi monoton, membuat suasana semakin terasa mencekam. Baskom berisi air hangat dan handuk kecil tergeletak di meja samping, sesekali Shea merendam handuk itu sebelum mengusapkannya perlahan ke kulit ibunya.

"Ma... Mama pasti kuat, kan?" ucap Shea dengan suara bergetar, mencoba menyembunyikan isakan yang terus mengguncang dadanya. "Mama pasti sembuh... Mama harus sembuh. Aku janji aku bakal jadi anak yang baik. Aku janji aku bakal bikin Mama bangga. Tapi Mama harus bangun dulu..."

Air matanya jatuh membasahi punggung tangan Andini yang dingin. Shea mencium tangan itu berulang kali, seolah ingin mentransfer semua kekuatan dan harapannya ke tubuh lemah ibunya. Hatinya terasa sangat bersalah, mengenang semua momen di mana ia bersikap keras terhadap Andini. "Aku belum pernah bikin Mama bahagia sepenuhnya... Aku belum pernah benar-benar jadi anak yang baik," bisiknya dengan suara pelan, penuh penyesalan.

Wajah Andini masih tetap pucat, matanya terpejam seakan tak mendengar panggilan putrinya. Tapi Shea terus berbicara, berharap meskipun tak ada jawaban, setidaknya Andini bisa merasakan kehadirannya.

Langkah kaki pelan terdengar di belakangnya. Shea menoleh dan mendapati Kaizen berdiri di pintu kamar. Raut wajah lelaki itu penuh dengan kekhawatiran. Dengan hati-hati, ia melangkah mendekat, tangannya dimasukkan ke dalam saku celananya, mencoba menyembunyikan kegelisahannya.

"Shea," panggil Kaizen lembut. "Udah malem, She. Kamu istirahat dulu aja, ya? Biar aku yang gantian jagain Mama."

Shea menggeleng lemah, tapi tegas. "Nggak, Kak. Aku mau jagain Mama. Aku bakal tidur di sini, di samping Mama."

Kaizen menghela napas. "Tapi kamu juga butuh istirahat. Kalau kamu sakit, siapa yang jaga Mama nanti?" tanyanya, berusaha membujuk.

Shea memalingkan wajah, menatap ibunya yang masih terbaring tak sadarkan diri. "Gapapa," katanya pelan. "Aku cuma mau saat Mama membuka mata, Mama bisa lihat aku di sini."

Kaizen terdiam. Ia tahu Shea keras kepala, dan ia tak ingin memaksa lebih jauh. "Bara udah kamu kasih tau?" tanya Shea, mencoba mengalihkan pembicaraan.

Kaizen mengangguk. "Udah. Bara bilang dia udah pesan tiket buat pulang. Mungkin besok pagi dia sampai." jelas Kaizen.

Shea mengangguk lega. Setidaknya adiknya akan segera berada di sini, memberikan dukungan yang ia butuhkan.

"Kamu udah makan, She?" tanya Kaizen lagi, nada suaranya lebih lembut kali ini.

Shea menggeleng. "Belum."

Kaizen menghela napas panjang, lalu menawarkan, "Mau aku beliin makanan? Kamu mau makan apa? Biar aku cariin." tawar Kaizen kepada Shea.

Shea tersenyum tipis, menggelengkan kepalanya. "Nggak usah, Kak. Makasih. Tadi Arsya bilang dia lagi beliin makanan buat aku." jawab Shea.

Kaizen terdiam, tak mengatakan apa-apa lagi, meskipun hatinya terasa sedikit sesak mendengar nama Arsya.

Tak lama kemudian, pintu kamar rawat terbuka, dan Arsya muncul dengan dua bungkus makanan di tangannya. "Shea," panggilnya lembut sambil mendekat. "Aku tadi beliin sate sama nasi. Gapapa, kan?"

Shea tersenyum kecil, menyambut makanan itu dengan tangan yang gemetar. "Makasih, Arsya. Maaf ya ngerepotin kamu."

Arsya tersenyum. "Gapapa, aku cuma pengen kamu makan. Jangan sampai kamu sakit juga." ujar Arsya.

Arsya kemudian melirik Kaizen yang berdiri di sudut ruangan. "Oh, Kaizen?" sapanya saat melihat Kaizen. "Aku kira kamu ikut Papa kamu pulang buat ambil baju?" tanyanya, mencoba mengalihkan suasana.

Kaizen hanya menggeleng pelan, tidak berusaha menjelaskan alasannya tetap tinggal.

Arsya melihat Kaizen dengan raut wajah datar, lalu berkata, "Kamu udah makan, Kaizen?"

Kaizen balas menatapnya, lalu menjawab singkat, "Udah."

"Oh iya, Shea," kata Arsya sambil kembali menoleh ke Shea. "Aku minta maaf, aku nggak bisa lama-lama di sini. Aku ada jadwal praktek malam ini. Gapapa, kan?" kata Arsya berpamitan karena ada jadwal praktek malam di rumah sakit.

Shea mengangguk. "Iya, Arsya. Makasih ya buat semuanya, maaf jadi ngerepotin kamu."

Arsya tersenyum, lalu berjalan ke arah pintu. Namun sebelum keluar, langkahnya terhenti karena Shea memanggil namanya.

"Arsya," panggil Shea dengan suara pelan.

Arsya menoleh, sedikit bingung. "Iya, Shea?"

Shea mengambil napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian untuk mengatakan sesuatu yang sejak tadi menggantung di pikirannya. Ia menatap Arsya dengan mata yang berkaca-kaca, lalu bertanya, "Kamu cinta sama aku?"

Ruangan itu seketika sunyi. Arsya tertegun mendengar pertanyaan Shea, sementara Kaizen yang berdiri di sudut hanya bisa diam, mencoba menutupi keterkejutannya.

"Maksud kamu?" tanya Arsya bingung, mencoba memastikan maksud dari pertanyaan itu.

Shea menunduk sejenak, lalu mengangkat wajahnya kembali. "Lamaran kamu kemarin masih berlaku, kan?"

Arsya terdiam, menatap Shea dengan tatapan yang sulit diartikan. Di sisi lain, Kaizen menggenggam tangannya sendiri erat-erat, merasakan sesuatu dalam dirinya retak.

To be continued

Tim Arshea atau Kaishea?

Don't forget to vote, comment, follow, and share.

dukungan kalian sangat berarti untuk cerita ini.

see you next chapter!

Fatialaila, 6 Januari 2025

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Fatialaila, 6 Januari 2025


LOVE IN HEA(U)RT [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang