46. Legenda Si Pembawa Petaka

104 8 0
                                    

"Apakah kamu mau tahu, alasan dari semua hal buruk yang menimpamu?" Wanita tua itu tersenyum misterius sembari mengelus permukaan bola kaca di depannya.

Sedangkan lawan bicara wanita tua itu terlihat mendengus tidak suka.

"Jangan terlalu terbelit-belit orang tua! Aku mau meladenimu, karena kau memaksaku untuk mendengar semua omong kosongmu itu." Hardiknya kesal, merasa seluruh waktunya terbuang sia-sia mendengar ocehan tidak bermutu dari wanita tua yang mengaku sebagai peramal.

Daripada peramal, wanita tua itu lebih mirip penipu yang sedang mencari keuntungan dari orang-orang yang terlihat memiliki masalah berat. Dengan mengatakan omong kosong agar mereka percaya dengan tipuannya.

Tipuan busuk yang sempurna untuk orang yang tepat...

Sayangnya tipuannya itu tidak berlaku kepada perempuan muda yang tengah mengandung itu, dia adalah Han Ji Ya.

Wajahnya masam karena kesal, sedangkan bibirnya tidak pernah berhenti mencibir karena tubuhnya yang terasa pegal dan sedikit sakit di bagian tertentu.

Ji ya selamat setelah nekat melompat ke jurang dengan sungai beraliran deras di bawahnya, untungnya ia hanya mengalami sedikit lecet karena tergores bebatuan dasar sungai. Meski ji ya sempat merasakan traumanya kambuh terhadap air dalam, bersyukurnya ia dapat mengatasinya dengan baik, dan segera berenang mendekati pinggiran sungai.

Itu adalah pengalaman yang cukup menegangkan bagi ji ya, lebih menegangkan daripada berhadapan dengan kaisar xiao yang katanya kejam.

Nyatanya, kaisar xiao tidak lebih dari bajingan yang haus belaian wanita cantik seperti ji ya.

"Kamu, perempuan muda yang cantik, mengapa kamu mau menggantikan jiwa asli tubuh ini? Bukankah kehidupan di zamanmu sudah sempurna?"

Mata ji ya melotot saat mendengar penuturan nenek peramal itu, bahkan orang aneh ini saja tahu ji ya bukan bagian dari dunia ini. Mengapa hanya ji ya yang kebingungan mengapa bisa ia bersemayam di dalam tubuh Putri Agung Han Ji Ya ini?

Kenapa hanya dirinya yang tidak tahu menahu tentang hal di luar nalar ini?

Tangan dingin ji ya menyentuh tangan nenek peramal itu dengan gemetar.

"Bagaimana kau bisa tahu aku bukan dari zaman ini? Kenapa semua orang yang aku temui seakan tahu segalanya dibanding diriku sendiri? Kaisar sialan itu, pembunuh yang mengaku penyihir dan pelayan yang ternyata kaki tangan penyihir dan sekarang! Kau juga mengetahui hal ini. Siapa sebenarnya kalian?!"

Ji ya berteriak kesetanan, ia sudah muak dengan ketidaktahuannya. Sejak awal kedatangannya ke dunia ini adalah hal yang di sengaja oleh orang lain, bahkan ji ya tidak tahu menahu atas maksud dan tujuan orang itu mendatangkan nya di dunia aneh ini.

Nenek peramal itu tersenyum lembut menghadapi riak amarah ji ya, dirinya sama sekali tidak mempersalahkan tindakan ji ya. Nenek itu mewajarkan sikap ji ya yang tidak terima akan kenyataan yang seakan membodohinya.

Perlahan tangan keriput nenek peramal itu menggenggam erat tangan ji ya yang terasa dingin, seakan memberinya sedikit kehangatan.

"Tenanglah nak, nenek akan memberitahumu semuanya yang kamu ingin tahu. Jangan terlalu marah, itu hanya akan menyakiti bayi kecil di perutmu." Tutur nenek itu dengan nada lembut, hingga menyadarkan ji ya dari tindakan impulsif nya.

Ia hanya terbawa emosi sesaat.

Ji ya menghela napas, guna meredakan amarahnya sambil mengelus lembut perutnya yang membuncit.

"Duduklah nak, nenek akan menceritakan semuanya..." Tangan keriput itu lantas menuntun ji ya ke sebuah kursi kayu yang terlihat tua, namun kokoh.

Setelah menyamankan diri, ji ya kemudian menatap wajah nenek peramal itu, seolah menunggu ia segera bercerita.

Wanita tua itu juga duduk di hadapan ji ya, sambil membawa buku dengan sampul yang terbuat dari kulit kayu yang terlihat sangat usang bahkan buruk sekali dipandang mata. Dahi ji ya mengernyit saat melihat buku tua itu.

Meski didalam hati ji ya terus bertanya-tanya, namun ia memilih untuk diam dan memperhatikan nenek tua itu.

Nenek tua itu mulai membuka buku tua itu dan membaca isinya seolah tengah mendongeng kan cucunya.

"Dahulu sekali, sebelum semua kerajaan dan Kekaisaran berdiri di tanah ini. Hiduplah tiga suku manusia yang hidup saling memusuhi satu sama lain. Suku-suku itu memiliki karakteristik yang berbeda bahkan mereka memiliki sihir." Nenek peramal itu tersenyum tipis saat menangkap ekspresi ji ya yang tampak penasaran saat ia mengatakan tentang sihir.

"Ketiga suku itu adalah Suku Cahaya, Suku Kegelapan, dan Suku Bumi. Mereka tidak pernah akur antar suku, peperangan selalu terjadi antara mereka. Tetapi diantara suku itu, hanya suku cahaya dan kegelapan yang selalu berperang untuk membuktikan kehebatan suku mereka masing-masing."

Wajah ji ya lantas sedikit kebingungan, memangnya apa hubungannya dengan dirinya yang tiba-tiba berada di zaman ini?

"Aku tidak mengerti mengapa kau menceritakan dongeng seperti ini, aku ingin mencari jawaban mengapa aku bisa disini! Bukan untuk mendengar dongeng anak-anak." Terlihat ji ya benar-benar kesal dengan kisah bertele-tele dari nenek tua itu, sedangkan nenek itu hanya tersenyum kecil dan malah melanjutkan ceritanya.

"Suku cahaya itu sangat memuja dewi cahaya yang memberi mereka kekuatan untuk menghapus kutukan bahkan bisa menumbuhkan tanaman dalam sekejap mata. Lalu ada Suku kegelapan yang memuja dewa kegelapan yang telah memberi mereka kekuatan dimensi yang membuat mereka bisa berpindah-pindah dalam sekejap dan bisa mendatangkan hujan. Dan yang terakhir adalah Suku bumi yang tidak memiliki kekuatan apapun, mereka seperti manusia biasa pada umumnya tetapi mereka memiliki kepintaran dan kelicikan yang luar biasa-"

Tangan sang nenek lantas membuka genggaman tangan ji ya dan menunjuk kearah telapak tangannya.

"Kamu adalah korban dari kelicikan suku bumi yang telah menghasut suku kegelapan." Ucap nenek tua menatap serius.

"Korban kelicikan suku bumi? Apa maksudmu nenek tua?"

"Suku cahaya dan kegelapan sudah bermusuhan sejak lama dan mereka selalu ingin menghancurkan satu sama lain, dan suku bumi memanfaatkan hal tersebut untuk menghancurkan keduanya, sekaligus. Para suku bumi menyebarkan ramalan palsu yang mengatakan bahwa jika ada yang berhasil membawa jiwa seseorang yang berasal dari zaman yang berbeda, dapat membawa berkah berlimpah untuk melawan musuh dari suku yang berhasil membawa jiwa yang berbeda zaman itu."

Tangan ji ya tanpa sadar gemetar dengan sendirinya disaat ia mulai mengerti benang merah yang nenek itu sampaikan padanya.

"Suku kegelapan termakan ramalan palsu itu karena ego mereka yang tidak mau kalah dengan suku cahaya. Dengan kekuatan mereka, suku kegelapan berhasil menarik satu jiwa dari zaman yang berbeda dan hal itu membuat petaka yang begitu parah. Kedatangan jiwa yang tak seharusnya berada di zaman itu membuat dewi cahaya murka, dan terjadilah bencana alam dan wabah penyakit yang menyerang semua suku, tidak pandang bulu yang membuat manusia nyaris punah."

Sang nenek terdiam sejenak seolah menerawang kejadian yang pernah terjadi dahulu sekali.

"Nak, kamu adalah jiwa kedua yang berasal dari zaman yang berbeda, orang yang kamu sebut penyihir itu pasti sengaja memanggil jiwamu untuk membuat petaka yang sama pada ratusan tahun yang lalu. Tidak hanya orang-orang yang berada di zaman ini saja yang akan terkena petaka, kamu juga akan mendapat kutukan karena menjalin hubungan dengan seseorang dari keturunan suku cahaya."

"Suku cahaya? Kapan aku berhubungan dengan suku cahaya? Bukankah mereka sudah tidak ada lagi!" Protes ji ya, yang asal menyimpulkan cerita sang nenek.

Sang nenek tersenyum kalem.

"Ayah dari anak yang kamu kandung adalah keturunan suku cahaya."

"APA?!"

Bersambung.

Scroll terus, ceritanya dah tamat nieh hahaha

Izel sengaja langsung update 3 chapter terakhir.

Permaisuri Licik (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang