"Aku tidak bisa menemukan hotel tempat kita menginap waktu itu, Niall" ucap Liam, menggigit-gigit kukunya dengan gugup. Wajahnya terlihat larut dalam pikiran, kedua alis mengkerut bersama.
Niall berguling ke sisinya untuk menatap laki-laki berambut coklat tersebut, dan merasakan timbulnya perasaan sedih dalam dirinya. Liam terlihat sangat merasa bersalah, dan bahkan ia belum sama sekali membaca surat-suratnya. Sekilas, terbesit di pikiran Niall untuk membiarkan Liam membaca surat-surat Charlie, namun ia cepat-cepat langsung mengubur pikiran itu ke belakang pikirannya. Belum. Mungkin suatu hari, ia akan bertanya pada Charlie--akhirnya dapat bertanya pada Charlie, dan kemudian baru Liam dapat membaca surat-surat miliknya. Tapi untuk saat ini, surat-surat tersebut ditujukan untuknya, hanya untuk mata Niall dan begitulah keadaannya untuk sekarang ini.
"Mungkin-- Apakah Charlie mengatakan sesuatu di suratnya? Tentang di mana ia tinggal?" tanya Liam.
"Entahlah," ucap Niall, alis mengkerut. "Mungkin."
"Maukah kau mencoba mencarinya? Aku tidak bisa memikirkan jalan lain selain ini."
Niall terdiam, menatap tumpukan surat di tangannya. Surat yang keempat belas terletak ditumpukan teratas, masih belum terbuka, lalu ia menghela napas dengan berat. Lagi pula, ia ingin membaca surat yang terakhir.
Liam menatap Niall dengan hati-hati. "Aku bisa melakukannya jika kau membolehkan."
Niall tidak bergeming. Apakah ia ingin Liam melakukan itu? Sejujurnya, tidak, sangat tidak ingin. Charlie adalah rahasianya, dan mungkin itu terdengar bodoh, tapi ia memang rahasia Niall. "Entahlah," jawab Niall sejujurnya.
"Aku hanya akan membaca sepintas, janji. Aku cukup pandai dalam hal itu." kata Liam."Kalau kau membaca surat ini dan aku akan mencari di sisa surat, mungkin kita bisa menemukannya lebih cepat, ya?"
Niall kembali terdiam, memikirkan perkataan Liam.
"Baiklah." Lalu ia memberikan Liam tumpukan surat-suratnya, dan merobek ampol surat yang keempat belas.
Dear Niall,
Tidak ada banyak yang bisa kuceritakan, kali ini. Anak barunya bahkan terlihat lebih mirip Blake daripada yang kukira sebelumnya. Alice masih bertingkah aneh. Ruby menelpon kemarin, bercerita tentang sekolah barunya-- 'mereka bermain lacrosse di sini Charlie, itu sangatlah keren' --dan keluarga barunya juga kehidupnya barunya tanpaku. Aku bahagia untuknya, sungguh, Ruby berhak mendapatkan semua ini lebih dari siapapun. Hanya saja.. Aku sangat merindukannya terkadang.
Dan kemudian masih ada perasaan sedih yang menjalar yang rasanya seperti menggerogotiku dari dalam.
Oh Charlie, batin Niall sambil menggigit bibir. Di sampingnya, Liam membuka salah satu surat, mata coklatnya membaca cepat tulisan yang ditulis miring tersebut.
Aku takut, Niall. Rasanya aku akan menjadi gila atau ada yang salah denganku. Apakah aku akan menjadi gila, Niall? Aku rasa, iya. Kadang-kadang, aku berbaring di tempat tidur dan berandai-andai untuk mengambang, membayangkankan seluruh bagian tubuhku menjadi seringan kapas dan mengapung melewati langit-langit, melewati loteng yang penuh dengan semua barang yang ditinggalkan oleh anak-anak yang telah pergi. Naik ke atas, ke udara lalu keluar dari atmosfir bumi dan akhirnya ke luar angkasa.
Aku rasa aku butuh sesuatu untuk menarikku kembali ke bumi. Blake dahulunya melakukan itu untukku, setelah aku kehilangan semua orang dan sebelum aku kehilangan kendali lagi.
Semenjak Eliza didiagnosa, aku pernah mendapat beberapa serangan panik yang begitu mengerikan di mana hidup menyerah padaku dan aku, lupa untuk bernapas. Serangan itu menjadi lebih sering setelah kematian orang tuaku, karena mereka telah pergi, Eliza sekarat, aku sendirian dan aku sudah tidak tahu harus berbuat apa lagi. Aku benci perasaan itu.
Aku masih membencinya sampai sekarang.
Kali kedua aku bertemu dengan Blake, aku baru saja diberi tahu bahwa Eliza tak akan bertahan sampai akhir bulan.
Aku seharusnya tidak terlalu kaget, aku seharusnya telah bersiap-siap lebih baik. Bahkan, sebuah keajaiban Eliza bisa bertahan sejauh itu. Tahukahkau bahwa perkiraan hidup rata-rata untuk seseorang yang mengidap APL? Hanya 8-10 bulan setelah didiagnosa. Dan Eliza telah bertahan setahun, Tuhan memberkatinya. Tapi, untuk beberapa alasan yang bodoh, aku masih percaya kami akan melaluinya, Eliza akan membaik dan akan kembali ke rumah bersama denganku. Aku saat itu masih berharap rambut keriting coklatnya akan kembali tumbuh, dan aku masih berpikiran bagaimana ia dan Ruby akan menjadi akrab.
Sehingga saat aku duduk di ruang dokter, menggenggam erat tangan Jade, dan aku diberi tahu, aku benar-benar tidak tahu apa yang terjadi. Aku hanya tidak bisa bernapas atau berpikir, dan aku merasa seperti ingin mati. Jade tidak terlalu mengerti persaanku, kurasa. Ia hanyalah seorang magang saat itu, jadi yang ia lakukan hanyalah meremas tanganku, menggumamkan sesuatu lalu meninggalkanku di koridor sendirian untuk menelpon Steve.
Aku sangat minta maaf jika ini sulit untuk dibaca. Tanganku tak bisa berhenti bergetar.
Niall membawa tangannya mengikuti jejak tulisan tangan Charlie yang semakin lama semakin tidak terbaca, tulisannya semakin berantakan dan liar.
Blake menemukanku, pada akhirnya. Aku baru saja bertemu dengannya sekali, tapi dia tanpa canggung melingkarkan tangannya padaku dan memelukku erat, menggumamkan bahwa semuanya baik-baik saja dan aku akan baik-baik saja dan bahwa aku aman sekarang. Dia tidak melepaskan pelukannya, Niall. Dia tidak pernah, dan aku tidak pernah sempat untuk berterima kasih padanya atas itu. Dialah yang kupunya saat itu dan aku kehilangannya juga. Dan terkadang, aku lupa apa yang telah Blake perbuat untukku, kau tahu? Terkadang aku lupa dan aku hanya harus mengingatkan diriku kembali bahwa dia satu-satunya alasan aku tidak menyerah pada akhirnya.
Setelah aku berhenti menangis dalam pelukannya, aku menanyakannya mengapa ia di sini, di rumah sakit, dan apakah ia sedang kehilangan seseorang juga?
Blake menggelengkan kepalanya, dan pada saat itu aku tidak melihat betapa sedih senyumannya. Aku tidak menyadarinya, dan aku percaya saat dia berkata bahwa ibunya bekerja di rumah sakit dan dia membawakan ibunya makan siang setiap hari. Aku akan bertanya padaku, saat ini, apakah aku tetap akan jatuh cinta padanya jika aku tahu kebenarannya. Tapi aku. tidak. tahu.
Itulah masalahnya. Tidak ada yang tahu. Kebenaran hanya akan menamparmu, seperti truk jalanan yang menabrak salah satu sisi mobilmu, dan tidak ada yang bisa kau lakukan. Tidak ada, tidak ada yang tersisa.
Ya Tuhan. Niall, apa yang harus kulakukan? Apa yang harus kulakukan lagi? Apa yang tersisa untukku?
Kau memiliki aku, batin Niall dalam keputusasaan. Kau akan punya aku, aku hanya perlu menemukanmu.
Mungkin Lola benar tentang menulis surat-surat ini membuat segalanya memburuk.
Beribu cinta,
Charlie ♥
"Kau baik-baik saja, Niall?" tanya Liam di samping nya.
Niall mengerjap. "Uh, ya. Aku tidak apa-apa," gumamnya, mengusap matanya yang perih dengan geram. Jantung nya berdebar kencang, dan perasaan sedihnya kembali menyesakkan dada. Sebuah kekhawatiran yang buruk dan menganggu di belakang pikirannya semakin lama semakin lantang dengan setiap surat yang telah terbaca.
Bagaimana jika Charlie berhenti menulis karena dia tidak sanggup lagi?
Bagaimana jika Charlie menyerah, menyerah pada hidup?
Bagaimana jika--
"Niall," ucap Liam tiba-tiba, terpaku di sampingnya."Niall, lihat."
"Apa?" gumam Niall.
"Daybridge Children's Care Home," Liam menengadah, matanya berbinar, "Daybridge Children's Care Home. Itulah di mana Charlie bilang ia tinggal, Niall. Kita bisa menemukannya!" pekik Liam.
Niall menatap suratnya.
Ia akhirnya bisa menemukan Charlie.
~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~
penulisnya sedih nulis chapter ini
gue sedih nge translate chapter ini
dan kalian sedih baca chapter ini
yeay!!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Puluh Satu Surat untuk Niall
Fanfiction[Terjemahan dari Twenty One Letters To Niall] Suatu hari di kamar hotelnya, Niall mendapat paket berisi dua puluh satu surat. Dua puluh satu surat dari seorang gadis yang mencurahkan isi hatinya kepada Niall. Seiring dengan Niall yang mulai membaca...