Sebuah kalender terpajang di dinding, seolah-olah menatap Niall. Tiga hari. Hanya tiga hari lagi dan ia akan dapat bertemu Charlie.
Segalanya telah dipersiapkan--mereka akan menyelesaikan rekaman terakhir untuk album selanjutnya, melakukan satu wawancara terakhir, lalu mereka akan bebas selama sebulan. Niall akan naik kereta ke Brimingham dari bandara keesokan paginya saat mereka tiba di London, dan semoga bisa menghindari para penggemar, lalu naik taksi ke panti asuhannya Charlie.
"Apakah menurutmu aku harus menelpon dulu?" Niall bertanya kepada Liam dengan cemas. Liam pun menengadahkan kepalanya dari layar nintendonya.
"Siapa?"
"Orang-orang yang ada di panti asuhan tempat Charlie berada."
Liam berhenti bermain sejenak, menaruh nintendonya perlahan. "Entahlah," ucapnya, "Mungkin? Tapi tentunya kau harus mendapat izin dari manajer dan lain-lain jika ini resmi. Apakah kau akan mengobrol dengan semua anak yang ada di sana, atau..?"
Niall mengernyit, lalu menggelengkan kepalanya. Ia merasa bersalah karena hanya ingin menemui Charlie, tapi ini berbeda dari kunjungan ke rumah sakit atau sekolah-sekolah yang pernah mereka lakukan. Niall kenal Charlie, ia yakin begitu. "Tapi, aku merasa hanya ingin berbicara dengannya, kau tahu. Ini--kunjungan ini harus mengenai dirinya untuk sekali ini," ucap Niall pelan.
Terdapat keheningan untuk beberapa saat sebelum akhirnya Liam berdiri, meregangkan badannya. "Kalau begitu, tidak usah menelpon. Maksudku, kau boleh, tapi pada akhirnya kau harus mendapat izin dari para atasan dan itu akan menunda kunjunganmu, kan?"
Niall berterima kasih pada Liam dalam hati atas pengertiannya mengenai hal ini tanpa harus dibahas panjang lebar. "Kau benar. Terima kasih."
"Tidak masalah. Selamat malam," gumam Liam sembari meninggalkan ruangan, membiarkan Niall di sofa merangkul surat-surat yang sudah lusuh dengan kegembiraan yang tak terkira. Ia tidak bisa berpikir mengapa ia sangat menunggu saat untuk bertemu Charlie, hanya saja perasaan bahwa ia akan menemuinya, mendengarkan suara dibalik kata-kata ini, membuatnya sangat bahagia.
Oke, mungkin ia memang tahu kenapa ia sangat bersemangat saat ia membuka dompetnya dan mengeluarkan foto yang Charlie kirimkan padanya sebelumnya. Tapi, ia hanya akan mengabaikan perasaan itu dahulu. Ia akan menyimpannya di belakang kepalanya dahulu. Ya.
Namun saat ini, ia merasa sangat butuh untuk membaca suratnya lagi. Ia memiliki lima surat lagi untuk dibaca dalam waktu tiga hari--dan ia telah membaca surat-surat sebelumnya selama tur ini--tapi Niall tidak ingin membacanya sekaligus lalu menjalankan sisa waktunya dengan menunggu. Mungkin ia akan membaca satu surat untuk sekarang, lalu menyimpan yang lainnya untuk perjalanan di kereta.
Dengan pemikiran seperti itu, Niall merobek amplop surat ketujuh belas.
Dear Niall,
Bolehkan aku memberitahumu suatu hal?
Aku takut. Aku sangat sangat takut sekarang. Aku belum pernah setakut ini dalam beberapa saat terakhir--sebelumnya aku merasa sedih, kesepian, marah, tapi aku akan berkata jujur saat aku bilang bahwa sulit untuk membuatku sangat takut. Pemikiran bahwa aku akan kehilangan Eliza dulunya menakutkanku, sebelum kecelakaannya. Lalu orang tuaku meninggal dunia, dan aku mulai berpikir mungkin aku harus mulai menerima fakta bahwa ketakutan tidak mengubah apa pun.
Hampir secara instan, kegembiraan Niall musnah, hatinya serasa diremuk sambil ia membaca surat Charlie. Ia lupa, hampir, bahwa pikiran Charlie sedang kacau di surat terakhirnya. Dan juga dia hampir putus harapan sepenuhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Puluh Satu Surat untuk Niall
Fanfiction[Terjemahan dari Twenty One Letters To Niall] Suatu hari di kamar hotelnya, Niall mendapat paket berisi dua puluh satu surat. Dua puluh satu surat dari seorang gadis yang mencurahkan isi hatinya kepada Niall. Seiring dengan Niall yang mulai membaca...