Setelah dari kantor polisi dan mengirim kue ke langganannya, Jodha pulang menuju rumahnya. Begitu sampai, dia lihat tidak ada orang sama sekali. Pasti bibi dan pamannya sedang keluar. Ayah dan ibunya meninggal dua tahun yang lalu saat mereka bertiga sedang pergi keluar kota. Ibunya meninggal seketika. Sedangkan ayahnya meninggal setelah dirawat sehari di rumah sakit. Jodha selamat karena hanya terkena luka ringan. Setelah ayah dan ibunya meninggal, Jodha dititipkan pada bibinya.Tapi bibi dan pamannya tidak begitu meyayangi Jodha. Yang mereka pikirkan hanya uang. Ayah Jodha mewariskan sebuah toko roti pada Jodha namun diambil alih oleh pamannya. Toko rotinya menjadi bangkrut begitu dikelola pamannya. Pendapatan yang diterima digunakan oleh paman dan bibinya untuk bersenang-senang dan dihambur-hamburkan.
Beruntung Jodha mendapat beasiswa kuliah di universitas ternama di Jakarta. Sebenarnya dia ingin bekerja saja tapi ayahnya memberinya amanat untuk menyelesaikan kuliahnya sampai selesai. Untuk melangsungkan hidupnya, dia kuliah sembari membuat kue-kue pesanan. Sebagian uangnya diserahkan ke bibi maham dan sebagian lagi dia tabung.Jodha ingin sekali keluar dari rumah ini dan tinggal di kost-an. Tapi setelah dipikir-pikir, dia tidak punya siapa-siapa. Sehingga dia mencoba bertahan untuk tetap tinggal. Jodha berharap agar paman dan bibinya bisa berubah dan menyayanginya.
Setelah mandi dan berganti pakaian, dia keluar kamar untuk makan. Paman dan bibinya belum juga datang. Jodha kembali ke kamar setelah makan lalu istirahat. Besok dia harus bangun pagi karena ada mata kuliah pagi.
Keesokan harinya, Jodha bangun pagi lalu segera ke dapur menyiapkan sarapan agar tidak terlambat kuliah. Waktu Jodha menghidangkan sarapan di meja, Maham keluar dari kamar dan menuju ke meja makan.
"Pagi bi."
"Kamu dari mana kemarin? Pacaran ya?" tanya bibinya ketus.
"Tidak bi. Kemarin aku ke kantor polisi."
"Kantor polisi? Kamu mencuri?" tanya pamannya yang lalu ikut duduk di meja makan.
"Tidak paman. Kemarin aku ditodong oleh seorang pengedar narkoba dan aku disuruh menjadi saksi," Jawab Jodha yang merasa sedih dituduh seperti itu oleh pamannya.
"Oh. Aku kira kamu mencuri."
"Paman, bibi. Aku berangkat kuliah dulu." Pamit Jodha pada paman dan bibinya sambil mencium tangan mereka. Tapi langsung disentakkan.
"Sudah pergi sana! Tidak usah cium tangan. Nanti aku ketularan sial seperti ayah dan ibumu," ucap bibinya ketus.
Hati Jodha seakan teriris sembilu ketika bibinya mengatakan itu. Dia selalu saja dianggap sebagai anak pembawa sial. Cairan kristal bening menggenang di matanya. Buru-buru dia hapus agar paman dan bibinya tidak melihatnya menangis.
Selalu setiap hari dia perlakukan seperti ini. Jodha merasa kesepian di dunia ini meskipun dia mempunyai paman dan bibi. Dia tetap berharap bahwa suatu saat nanti akan ada orang yang meyayanginya dengan tulus.
***
Jalal berada di ruangannya bersama dengan Mirza, sahabat sekaligus partner kerjanya. Mereka sedang membahas tentang bos bandar narkoba yang sampai saat ini belum juga tertangkap.
"Informan kita mengatakan kalau Mr.John sekitar seminggu yang lalu berada di singapura," ucap Mirza.
"Suruh informan kita untuk terus mengawasinya. Tanganku sudah gatal ingin menangkapnya dan memasukkannya ke penjara. Tapi dia licin seperti belut." Sahut Jalal.
"Ya. Dia memang licin, tapi kita akan terus mengejarnya walau sampai ke ujung dunia sekalipun."
Ponsel Jalal berbunyi. Membuat mereka berdua menghentikan bicaranya.
"Halo."
"Kak Jalal …" Suara cempreng di seberang sana berteriak memanggil nama Jalal. Suara gadis itu bisa sampai merusak gendang telinga Jalal saking kerasnya. Jalal refleks menjauhkan ponsel dari telinganya. Mirza terkekeh.
"Busyet nih anak. Bisa tuli setelah ini telingaku." Omel Jalal sambil mengusap-usap telinganya, "Ada apa Sya? Bisa dipelankan enggak suaramu itu. Kayak habis makan petasan saja."
"Salah kakak sendiri. Tidak pernah menghubungi aku. Sibuk boleh, tapi jangan lupa dengan adikmu yang imut dan lucu ini," ucap Tasya, adik sepupu Jalal.
"Lucu dan imut dari hongkong!" ejek Jalal.
"Ish, kakak nih. Oh iya kak, jangan lupa kalau lusa adalah hari ulang tahunku. Kakak harus datang. Aku tidak mau ada alasan lagi. Tahun kemarin kakak janji tapi tidak ditepati." Tasya pura-pura merajuk.
"Iya. Kali ini kakak janji datang. Kamu mau kado apa princess Tasya?" Goda Jalal.
"Terserah. Kak Jalal datang saja, itu sudah kado terindah buat aku.""Dasar lebay. Sudah dulu Sya. Kakak sibuk. Bye."
"Ok, kakakku yang tampan. See you in my birthday party." Tasya menutup teleponnya. Mirza tertawa sambil menggelengkan kepalanya.
"Kenapa tertawa?"
"Lucu saja melihat kamu dan adikmu. Jadi dia menyuruhmu datang di pesta ultahnya?"
"Hm ... Lebay banget. Umurnya sudah dua puluh satu tahun tapi kelakuan masih seperti anak kecil."
"Wah. Nanti disana kamu akan jadi pusat perhatian teman-teman Tasya. Mereka pasti menempelimu seperti perangko." Mirza tertawa meledek Jalal.
"Sialan kamu! Aku tidak akan pernah tertarik dengan anak kuliahan."
"Ok. Kita lihat saja nanti apakah ucapanmu terjadi atau tidak?" Tantang Mirza. Jalal tersenyum menyeringai.
KAMU SEDANG MEMBACA
CANDU ASMARA (Sudah Terbit)
Fanfic➿ Sebagian bab dihapus karena sudah cetak. -------------------------- Seorang polisi yang bekerja di bagian Badan Narkotika Nasional bernama Jalaluddin Putra, jatuh cinta dengan seorang gadis bernama Jodha Mahendra yang masih duduk di bangku kuliah...