FTW - 4

522 48 0
                                    

            Sebuah pintu yang terbuat dari bebatuan marmer berbentuk lingkaran besar yang dikelilingi milyaran kelopak daun gugur berwarna kuning kemerahan, menjadi hal pertama yang dilihat Pangeran Loir setelah melewati pintu teleportasi. Kepalanya terasa pening dan berat. Ditambah dengan pendaratan yang lumayan sakit semakin membuatnya merasa seperti baru saja dijebloskan dari ujung tebing ke dasar paling dalam. Namun bedanya, keadaan sekarang begitu terang-benderang.

Pangeran Loir mengedarkan mata ke sekeliling, menyisiri apa saja yang ada guna mendapatkan sedikit tanda bahwa tempat yang dipijaknya saat ini bukanlah neraka. Bukan juga surga, karena dia belum siap. Kepalanya terangkat saat mendengar kepakan keras burung-burung yang terbang berkelompok. Tapi keningnya mengernyit saat melihat burung-burung itu terlihat terlalu besar untuk dikatakan sebagai burung. Dari ukurannya saja, dia bisa memperkirakan kalau burung-burung itu mungkin setinggi Athalea yang nyaris disebutnya seperti raksasa. Dan sayapnya terlalu panjang. Berwarna hitam legam. Pangeran Loir bisa menerka kalau burung itu adalah burung hantu, atau sejenis burung elang. Ah, atau mungkin Rajawali. Tapi yang jadi pertanyaannya adalah... apakah ada burung seukuran raksasa begitu?

Pertanyaan di benaknya dipaksa lebur bersama suara derak ranting yang terinjak. Pangeran Loir langsung membalik badan. Dan betapa matanya saat ini membola maksimal. Di hadapannya kini berdiri seorang perempuan tinggi berparas cantik, mengenakan baju dari daun berwarna kuning sedikit oranye dengan ikat pinggang sebuah pita berwarna hijau zamrud. Rambutnya panjang melewati bahu dan kulitnya kuning langsat. Dari jauh saja Pangeran Loir bisa mencium aroma tubuh perempuan itu. Kulitnya yang mengilat terlihat jelas terawat dan lembut. Untuk beberapa detik, Pangeran Loir tidak bisa menemukan suaranya. Dia terlalu terpesona. Di hadapannya saat ini pastilah seorang Dewi yang turun dari Kahyangan. Iya, pasti begitu.

"Apa yang kau lihat?"

Pangeran Loir mengernyit dalam keterpesonaaannya. Suara itu tidak asing. Suara galak dan judes yang beberapa waktu tadi terus meneriakinya dengan nada ketus. Suara khas dari peri biasa yang bodoh dan—

"Ternyata kau memang benar-benar tuli."

Nah, kan. Suara itu lagi. Tapi tidak mungkin suara itu milik perempuan di hadapannya, kan? Karena perempuan itu—

Mata Pangeran Loir semakin terbuka ketika menyadari satu hal yang menurutnya tidak masuk akal.

Perempuan cantik di depannya saat ini memiliki wajah yang mirip dengan peri biasa yang bodoh itu.

"K-kau—"

Suara Pangeran Loir agak serak. Telunjuknya terangkat tidak yakin. Yang ada di hadapannya ini—ah! Bagaimanapun, perempuan ini memang peri biasa yang bodoh itu. Si Peri Idiot! Dan kini tatapan Pangeran Loir memindai perempuan di hadapannya dari ujung kepala sampai kaki.

"Apa? Kenapa melihatku seperti itu?

Benar. Suara itu terdengar ketus. Bahkan, dilihat berapa kalipun wajah di depannya memang wajah peri bodoh itu, hanya saja saat ini wajah cantik itu dibingkai dengan rambut yang dibiarkan terurai, tidak seperti tadi yang diikat dan digelung ke atas. Seketika, rasa terpananya lebur.

"Kau... Si Peri Bodoh itu?" tanya Pangeran Loir masih sedikit tidak percaya.

"Kenapa? Apa saat ini kau sedang mengakui kalau aku cantik dan terpesona padaku? Ah, sayangnya aku tidak terpesona pada Pangeran Jadi-jadian sepertimu." Dee menyahut dengan senyum miring meremehkan. Mendapati laki-laki menyebalkan yang selalu berteriak dan menatapnya kecil, kemudian beberapa detik tadi tertangkap basah sedang menatapnya dengan tatapan terpana adalah hal menggelikan sekaligus menyenangkan.

"Terlalu percaya diri," komentar Pangeran Loir pendek. Namun matanya masih enggan beralih dari wajah bak pualam itu. Ada sesuatu yang seolah menariknya tadi, tapi sekarang ia jadi berpikir; apa sesuatu itu? Kenapa bisa sampai membuatnya terpana bodoh begitu? Ah, apapun itu, ia harus mencari tahu. Tidak pernah sebelumnya dia merasa 'jatuh' pada seseorang, dan kini seolah dia merasakannya. Tidak, itu tidak boleh. Yang harusnya dibuat 'jatuh' adalah orang lain terhadapnya, bukan sebaliknya.

"Mengaku jujur tidak akan membuat harga dirimu jatuh, Pangeran Setengah Pintar," sahut Dee masih dengan nada mengajak berperang. Kali ini Pangeran Loir tidak menanggapi. Dia menelisik Dee lebih dalam. Ada sesuatu yang hilang dari perempuan itu. Dan ketika menemukannya, matanya sekali lagi membola. "Hei, kau kemanakan sayapmu? Sayapmu tidak ada!" seru Pangeran Loir heboh.

"Kau pikir sayapmu ada, hah? Lihat dirimu sendiri sana!" seru Dee galak.

Ah, benar. Detik itu Pengeran Loir langsung memeriksa dirinya sendiri, meraba-raba ke setiap bagian tubuhnya dan selanjutnya tercengang. Ukuran tubuhnya tidak lagi sebesar dua ruas jari. Kakinya juga panjang menjejak tanah. Dan sayapnya... Oh, tidak! Jangan bilang kalau dia...

Tanpa menunggu lama, Pangeran Loir lantas melesat, mendekati sebuah danau dengan air bening tidak jauh dari tempatnya. Dia merunduk di tepian danau, mencerminkan seluruh tubuhnya di sana. Wajahnya dan kepalanya jadi besar. Telinganya tidak lagi berujung runcing. Tangan dan kakinya pun tidak seperti makhluk purba. Dan tubuhnya... berat, meski dia mengerang saat menemukan pakaian yang membungkus tubuhnya sedikit tidak layak. Pakaian itu dari kain, mungkin seperti bahan yang biasa digunakan untuk menyimpan gandum dan beras dalam ukuran besar. Dan ah, satu lagi, sayapnya hilang.

"Aku juga terkejut ketika menyadari sayapku hilang dan tubuhku berubah bentuk layaknya manusia. Tapi aku cukup senang karena akhirnya aku punya kaki yang panjang." Dee terlihat baik dan menikmati perubabahan dalam dirinya. Tapi tidak dengan Pangeran Loir. "Apa katamu? Kita berubah seperti manusia?"

"Ya."

"Ini gila! Tanpa sayap, mana bisa kita menemukan kitab itu dengan cepat? Dan ukuran tubuh sebesar ini... astaga! Kenapa peri tadi tidak bilang kalau kita akan mengalami perubahan setelah melewati teleportasi tadi?"

"Kau punya dua kaki dan tangan. Tidak perlu kuajarkan bagaimana cara untuk bisa menggunakannya, bukan?"

"Kau pikir aku seidiot itu, heh?" semprot Pangeran Loir gemas. Bukan itu yang dia maksudkan. Kalau dengan ukuran sebesar ini dan tidak memiliki sayap, waktu yang mereka miliki pasti tidak akan cukup untuk bisa menemukan kitab itu.

Dee mendengus sebal. "Terserah apa katamu. Aku tidak ingin membuang-buang waktu hanya untuk berdebat tidak penting. Waktu kita terbatas dan kuharap kau mengerti itu. Sekarang matahari sudah sepenggalan tonggak, kalau kita tidak cepat, waktu kita bisa habis dan kita akan membusuk di tempat asing ini."

Dee berjalan mendahului Pangeran Loir. Sebenarnya hatinya ketar-ketir dan gemetar. Sejak teleportasi tadi mendaratkannya dengan tidak cantik, ada begitu banyak ketakutan yang dirasakannya. Terlebih sayapnya menghilang. Dan berada di tempat asing dengan keadaan berbeda benar-benar semakin mengerutkan nyalinya. Dan dia tidak tahu apa yang akan dihadapinya selanjutnya begitu membuka gerbang itu. Dia takut. Ya. Kalau saja boleh meminta, dia ingin Emerald ada di sini sekarang, menemaninya. Setidaknya, keberadaan Emerald tidak membuatnya sendiri atau hanya berdua saja dengan Pangeran jadi-jadian itu.

Dee menarik napas panjang dan berat. Di hadapannya saat ini adalah gerbang itu, yang dilapis marmer dan keliatan sekali isi di dalamnya kurang bersahabat. Dee mengangkat jemarinya dan tepat ketika Dee hendak menempelkan daun yang dipegangnya pada sisi pintu yang tercetak berbentuk daun seperti yang digenggamnya, sebuah tangan lain mensejajari tangannya. Tangan Pangeran Loir.

"Kau benar, kita harus bergerak cepat," kata Pangeran Loir datar. Dee menengok padanya dan menemukan air muka Pangeran Loir yang keruh, mungkin dia sama takutnya dengan dirinya, pikir Dee, lalu kemudian mengangguk bersamaan, seiring daun dalam genggaman tangan mereka ikut menekan tempat daun itu diletakan. Selanjutnya, terdengar suara seperti mesin penggiling reot yang dipaksa melumat daging berputar tidak sabaran. Dee dan Pangeran Loir mundur beberapa langkah. Sulur-sulur pohon besar yang memutari pintu itu lepas perlahan. Dan setelah suara itu menghilang, gerbang itu terbuka lebar dan memanggil-manggil mereka untuk cepat dilewati. Degup jantung mereka berdetak saling berlomba. Sambil berpegangan tangan—tanpa disadari—keduanya kemudian melangkah bersama. Mereka sudah maju dan tidak mungkin mundur. Apapun yang ada di depan mereka nanti, mereka hanya harus menghadapinya bersama.

***

Find The WayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang