3rd Spiral: Beyond The Coffee Taste

104 19 2
                                    

Sore hari.

Matahari baru saja terbenam dan hari pun mulai gelap, namun itu semua tidak menghentikan derap kehidupan yang nyaris tanpa henti di kota Jakarta. Teriknya sinar matahari yang telah menghilang, dengan sigap telah digantikan oleh gemerlap lampu-lampu kota yang terkadang kelewat terang, hingga mengalahkan cahaya dingin bulan purnama di atas sana. Itu belum ditambah dengan sinar lampu ratusan –kalau tidak ribuan– kendaraan yang terjebak macet di hampir sebagian besar jalanan ibukota. Bagaikan barisan kunang-kunang, kendaraan dengan berbagai jenis memadati jalanan dan bergerak perlahan, nyaris dengan ritme lambat yang teratur.

Rush hour kedua.

Saat di mana warga yang sebagian besar tinggal di kota-kota satelit sekitar Jakarta, berjuang untuk bisa kembali ke rumah masing-masing sebelum larut malam. Saat di mana banyak dari mereka harus menempuh berjam-jam perjalanan penuh kemacetan sebelum akhirnya bisa kembali ke rumah masing-masing.

Biasanya sih aku juga jadi bagian dari iring-iringan malam di jalanan kota, tapi hari ini agak sedikit berbeda. Di hari-hari biasa kalau sudah jam segini, aku akan berkendara di atas partner tuaku sambil sesekali menggerutu karena terjebak macet yang rasanya semakin parah tiap tahunnya.

Biasanya begitu ... tapi tidak untuk sore ini.

"Baiklah. Di mana aku sekarang?"

Aku duduk di atas motorku sambil memandang ke sekeliling, kemudian ke arah smartphone tua yang baru saja kehabisan baterai pada saat yang sangat tidak tepat. Ponsel pintar yang sudah berumur beberapa tahun itu hampir selalu sukses mematikan dirinya sendiri pada saat aku paling membutuhkan bantuannya.

Sungguh pintar.

"Gawat ... ini di daerah Jakarta yang sebelah mana sih?"

Aku menggaruk kepalaku sambil mengetuk-ngetuk layar ponsel yang sudah kehabisan baterai, berharap alat canggih itu kembali menyala dengan suatu keajaiban. Tapi tentu saja tidak ada yang terjadi. Layarnya tetap gelap, dan aku pun masih tersesat.

Biasanya kalau sudah begini, aku akan mencari pedagang kaki lima terdekat, kemudian menanyakan arah tujuanku. Tapi entah kenapa, daerah yang kukunjungi kali ini begitu sepi, sehingga seolah-olah ini bukan bagian dari kota Jakarta lagi.

Jalanan yang terbentang di hadapanku benar-benar kosong dan dibatasi oleh dinding-dinding batako tinggi. Sepertinya sih ini daerah yang baru dikembangkan oleh pengembang properti, sehingga tidak ada bangunan lain di sekitar sini.

Masalahnya sepinya itu sungguh kelewatan! Sudah lebih dari setengah jam aku melintasi jalanan yang agak mirip labirin ini, tapi aku belum sekalipun melihat ada kendaraan lain yang melintas. Saking sepinya, aku jadi ngeri kalau ini sebenarnya tempat paling ampuh bagi para begal untuk menjalankan aksinya.

Maklum saja, akhir-akhir ini ulah begal kendaraan bermotor semakin mengerikan. Mereka tidak segan-segan melukai, ataupun menghabisi nyawa korbannya. Tapi jujur saja, aku agak ragu mereka akan mencoba merampok motor tua yang kukendarai ini. Toh mau dijual ke tukang loak pun, harganya tidak seberapa.

"Aduh! Ini benar-benar menyebalkan!"

Sambil menghela nafas panjang, aku kembali menyalakan mesin motorku. Deru mesin empat tak tua langsung terdengar menggetarkan udara malam yang mulai mendingin. Setelah sekali lagi memastikan kalau tidak ada orang di sekitarku, aku pun melaju perlahan-lahan tanpa petunjuk arah sama sekali.

Seperti tadi, yang kulihat dari tadi hanyalah jalanan sempit yang diapit oleh tembok batako tinggi. Tidak ada bangunan lain. Hanya sesekali ada pohon-pohon tua yang terlihat menyembul dari balik tembok beton yang memagari pinggiran jalan. Sama sekali tidak terlihat tanda-tanda kehidupan. Belum lagi ditambah fakta sekarang pandanganku agak kabur karena terhalang kabut tipis yang mulai muncul di sekitarku.

Spirals: Chain of (Extra) Ordinary StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang