5th Spiral: Midnight Ship

93 12 1
                                    

Kata orang hujan itu membawa berkah.

Kurasa sih begitu ... kalau turunnya di tempat lain, bukan di Jakarta. Di kota Megapolitan ini hujan lebat selama beberapa jam berturut-turut tidak pernah gagal membawa masalah.

Air yang tumpah dari langit, tidak bisa lagi ditahan oleh aliran sungai yang menyempit dan tergusur oleh megahnya bangunan-bangunan kota Jakarta. Lahan-lahan hijau yang dulunya berfungsi bagaikan spons, kini sudah tertutup oleh lapisan aspal dan beton tebal. Pohon-pohon yang dengan senang hati menyerap kelebihan air, sudah lama sekali hilang dan digantikan oleh gedung-gedung pencakar langit.

Tentu saja akibatnya sudah tidak perlu ditanyakan lagi.

Banjir.

Hampir setiap beberapa tahun sekali Jakarta selalu lumpuh akibat banjir yang melanda sebagian besar wilayahnya. Genangan air yang bertahan berhari-hari di berbagai sudut kota seolah mengingatkan penduduknya akan wujud asli kota ini sebelum manusia datang. Aliran sungai-sungai yang telah lama hilang dan terlupakan, kini seolah terbangun dari tidurnya dan kembali mengalir dengan penuh semangat melintasi sudut-sudut kota Jakarta.

Pada masa-masa seperti ini, alam seolah-olah kembali berkuasa menyingkirkan pengaruh manusia dari kota terbesar di Indonesia itu. Dalam beberapa hari selanjutnya, air adalah penguasa kota Jakarta, bukan lagi manusia.

Biasanya sih kalau banjir melanda seperti ini, aku akan santai-santai saja. Kebetulan aku tinggal di wilayah Bekasi yang posisinya agak tinggi, sehingga nyaris bebas banjir. Kalaupun air menggenangi jalan, tidak pernah sampai masuk ke rumah kos dan tidak pernah sampai bertahan lebih dari sehari.

Biasanya sih begitu. Tapi kali ini lain.

Entah karena nasib buruk atau apa, pagi itu aku masih berusaha mengantar sebuah paket kilat khusus yang katanya 'urgent' ke salah satu klienku di pusat kota. Tapi sayangnya aku tidak tahu kalau hari ini adalah hari di mana kota Jakarta kembali tergenang banjir. Tadinya kupikir hujan di pagi hari akan berhenti di siang hari. Tapi sampai tengah hari ini hujannya masih saja deras dan air dengan cepat menggenangi jalanan. Jalan raya yang baru beberapa menit yang lalu masih terlihat, kini sudah tertutup oleh genangan air yang semakin meninggi.

Tidak usah ditanya lagi, aku dan puluhan karyawan di kantor klienku akhirnya terjebak banjir yang dengan cepat mengepung gedung tempat kami berada saat ini. Sialnya karena genangannya sudah terlalu tinggi, aku tidak mungkin menerobos banjir untuk pulang ke rumah. Soalnya mesin motorku pasti mati karena kemasukan air. Belum lagi beberapa jalur pulangku melintasi kawasan rawan banjir dan dekat dengan aliran sungai besar. Kalau nekat, bisa-bisa aku terseret arus banjir dan jadi makanan ikan di Teluk Jakarta sana.

"Lupakan saja. Kalau sudah begini bisa berhari-hari sampai airnya surut. Kita beruntung kalau ada tim SAR atau TNI yang datang dengan kapal karet."

Salah seorang pegawai kantor klienku menepuk pundakku. Dia sepertinya mengira kalau aku berniat untuk menembus banjir yang mengepung kami. Tentu saja aku tidak sebodoh, atau senekat itu. Genangan air di sekitar kantor tempatku berada terlihat semakin tinggi. Aku juga yakin kalau arus aliran banjir sekarang sudah cukup kencang di beberapa jalur yang harus kutempuh untuk pulang. Itu belum ditambah fakta bahwa matahari pastinya sudah lama terbenam, bahkan sebelum aku setengah jalan sampai ke rumah.

Menembus genangan banjir kota Jakarta di malam hari tentu saja merupakan tindakan bunuh diri.

Jadi karena sudah tidak punya pilihan lain, aku pun akhirnya menunggu bantuan datang bersama para karyawan lainnya. Tidak banyak yang bisa kami lakukan sekarang, terlebih lagi kini aliran listrik sudah padam. Walaupun kami jadi terpaksa duduk dalam kegelapan, itu harusnya lebih aman daripada tersengat listrik gara-gara banjir yang menggenangi lantai dasar.

Spirals: Chain of (Extra) Ordinary StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang