9th Spiral: Thunderclap

114 18 9
                                    

Ada yang bilang kalau cuaca di jaman sekarang ini susah ditebak perilakunya. Bisa jadi pagi hari hujan deras, kemudian siangnya matahari bersinar dengan terik, diikuti dengan gerimis di sore hari, dan hujan angin di malam hari.

Apalagi cuaca di kota Jakarta.

Sudah tidak aneh lagi ketika di satu sisi kota sedang dilanda hujan lebat disertai angin kencang, tapi di kota satelit terdekat sama sekali tidak ada tanda-tanda akan hujan.

Cuaca lokal yang sulit diprediksi –dan menyebalkan– sudah bukan lagi hal baru bagiku. Sudah sering aku berkendara dalam dua sampai tiga tipe cuaca sekaligus hanya dalam rentang waktu beberapa jam saja. Mungkin itu sebabnya sekarang ini televisi sudah hampir tidak pernah lagi menampilkan yang namanya ramalan cuaca, sebab ramalan itu hampir bisa dipastikan akan meleset. Yah, sebagai gantinya sih sekarang aku bisa menggunakan aplikasi di smartphone untuk melihat ramalan cuaca setiap hari, tapi tetap saja hasilnya sering salah total.

Seperti sekarang misalnya.

Aplikasi ramalan cuaca hari ini bilang kalau pagi sampai sore ini cuaca akan cerah-berawan, dengan perkiraan hujan ringan di malam hari. Persentase kemungkinan turunnya hujan sepanjang siang hari ini hanya sekitar 2 persen saja.

Apanya?

Belum lama setelah aku meninggalkan kantor untuk mengantar dokumen dan paket seperti biasanya, kondisi langit berubah dengan kecepatan yang tidak masuk akal. Matahari yang tadinya bersinar cerah, kini sudah ditutupi oleh awan hitam tebal yang menggantung berat di langit. Saking beratnya, seolah-olah awan itu bisa jatuh sewaktu-waktu menimpa warga kota Jakarta yang sedang sibuk beraktivitas di bawahnya.

Kemudian hanya dalam waktu kurang dari setengah jam, hujan mulai turun dengan derasnya, seolah-olah langit sedang menumpahkan kesedihannya pada warga kota yang telah mengotori dirinya. Kilatan petir, disusul suara gemuruh mengerikan, terdengar bersahut-sahutan dari atas sana. Seolah-olah ingin mengingatkan manusia di bawah sana akan kengerian dari kemarahan sang langit yang sedang berduka.

Oke. Aku mulai meracau.

Tapi harus kuakui kalau suara gemuruh guntur di atas sana benar-benar menakutkan. Sesekali petir terlihat menyambar begitu dekat, sehingga suara gelegar yang dihasilkan sampai menggetarkan dadaku.

Mengerikan sekali.

Sambil menghela nafas panjang, aku bersandar ke tiang pos satpam tempatku berlindung. Saat ini aku berada di sebuah kawasan pertokoan yang ada di pinggiran daerah Depok. Yah, sejujurnya sih aku tidak begitu mengenal daerah ini dan juga bukan merupakan daerah operasi normalku. Tapi berhubung pagi ini ada paket kilat khusus yang harus diantar ke salah satu klien perusahaan di sekitar sini, mau tidak mau aku harus ke sini.

Untungnya aku terjebak hujan setelah selesai mengantar paket khusus itu, kalau tidak bisa panjang urusannya.

Sekilas aku memandang ke sekelilingku. Saat ini aku berada di kawasan ruko yang sepertinya baru selesai dibangun dan terletak di sekitar lapangan berumput, yang dulunya mungkin adalah hamparan sawah atau ladang. Namun entah karena himpitan ekonomi, tuntutan hidup yang tinggi, atau sekedar karena kebutuhan materiil, kini lahan hijau itu sudah disulap jadi sesuatu yang digaung-gaungkan sebagai 'green city' atau semacamnya. Deretan rumah-rumah mewah, mal yang baru setengah dibangun, dan barisan ruko megah dengan berbagai warna, kini menggantikan hamparan hijau padi, jagung, atau tebu yang dulu menguasai daerah ini.

Sambil melirik ke arah layar ponselku, aku memandang ke arah langit yang masih saja menggantung berat di atas sana, sembari menumpahkan isinya ke bumi. Kalau dilihat dari kondisinya, hujan masih akan terus turun sampai setidaknya satu atau dua jam ke depan. Bisa gawat kalau begitu, soalnya aku masih harus mengantar satu paket lagi. Sialnya aku juga sedang tidak membawa jas hujan atau ponco, sehingga mau tidak mau aku harus sabar menunggu.

Spirals: Chain of (Extra) Ordinary StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang