13th Spiral: Glimpse Out of Time

83 11 13
                                    


Semua orang yang tinggal di kota Jakarta pasti menyadari kalau laju kehidupan di ibukota negara itu begitu cepat. Orang-orang saling berpacu satu sama lainnya untuk menggapai tujuan masing-masing. Waktu pun seolah berlalu lebih cepat bagi siapa pun yang tinggal ataupun bekerja di Jakarta. Seolah-olah sang Waktu tidak ingin melambat, apalagi berhenti sejenak dan membiarkan penghuni kota untuk beristirahat melepas lelah dan beban kehidupan mereka. Sehingga tidak jarang ada yang bilang kalau orang-orang yang tinggal di Jakarta jadi lebih cepat tua ketimbang mereka yang tinggal di kota lainnya.

Dan tentu saja aku juga merasakan hal itu.

Terkadang rasanya aku baru saja memejamkan mata sejenak di malam hari, tahu-tahu matahari sudah terbit dan aku pun harus kembali melanjutkan rutinitasku setiap hari. Meskipun pada dasarnya aku menikmati pekerjaanku sebagai kurir barang, tapi ada waktu-waktu tertentu ketika aku mempertanyakan tujuan hidupku sendiri. Pasalnya rutinitas hidupku sehari-hari terasa begitu-begitu saja. Bahkan Terkadang rasanya begitu hambar dan stagnan.

Yah, meskipun belakangan ini hidupku jadi sedikit lebih menarik gara-gara aku lumayan sering mengalami berbagai macam hal aneh. Walaupun kejadian semacam itu membuatku ketakutan, tapi jauh di lubuh hatiku, aku malah berterima kasih. Berkat berbagai kejadian supranatural yang kualami itu, hidupku jadi terasa lebih bermakna dan aku pun jadi merasa sedikit lebih istimewa.

Biarpun begitu, aku tetap tidak bisa berhenti memikirkan sebenarnya apa tujuanku tetap hidup di dunia ini?

Padahal sebenarnya aku seharusnya sudah tewas dalam kecelakaan maut setahun yang lalu. Yah ... sejujurnya sih aku sempat mati suri selama beberapa menit waktu itu, tapi pada akhirnya aku bangkit lagi. Seolah-olah malaikat maut belum sudi mengambil nyawaku.

Kenapa aku masih dibiarkan hidup?

"Entah ya. Mungkin memang belum waktunya kau mati?"

Dengan entengnya Irvan menjawab pertanyaanku itu. Saat ini kami berdua sedang mengendarai mobil melintasi kota Jakarta untuk mengantarkan paket dan surat titipan klien perusahaan. Seperti biasanya, Irvan yang menyetir sementara aku bertindak sebagai navigatornya.

"Mungkin juga kau punya peranan penting di dunia ini. Entah apa. Yang pasti kau tidak boleh mati dulu sebelum kau memenuhi perananmu itu," ujar Irvan lagi sambil membetulkan letak spion tengah mobil boks yang kami naiki. Dia lalu melirik ke arah daftar pengiriman barang di tanganku. "Ngomong-ngomong paket kita berikutnya kemana?"

Sekilas aku membaca daftar yang ada di tanganku, kemudian tersenyum lebar.

"Sudah habis," ujarku senang. "Sekarang kita bisa mampir dulu untuk beristirahat sebelum kembali ke kantor. Tugas kita sudah selesai hari ini."

Alih-alih ikut senang, Irvan malah mengernyitkan dahinya.

"Yakin sudah selesai? Sudah dicek semua belum?" tanyanya kebingungan.

"Sudah dan tidak ada lagi paket yang harus dikirim hari ini," jawabku. "Memangnya kenapa?"

"Coba lihat di belakang sana. Masih ada satu lagi tuh!"

Irvan memberi isyarat dengan jempolnya dan menunjuk ke arah ruang kargo di belakang kabin pengemudi. Aku pun melepaskan sabuk pengamanku sejenak dan mengintip dari balik jendela kecil yang terhubung ke ruang kargo, atau boks, di belakang mobil. Dan ternyata memang benar! Masih ada satu paket lagi yang belum kami antar. Tapi masalanya, kenapa paket itu tidak ada di daftar?

"Coba minggir dulu, biar aku cek," ujarku.

Irvan pun bergegas mencari area kosong di tepi jalanan untuk parkir sejenak. Tidak lama kemudian kami pun sudah berhenti di depan sebuah minimarket. Tanpa menunda-nunda lagi, aku pun membuka pintu ruang kargo dan mengambil satu-satunya paket yang tersisa disana. Paket itu berukuran tidak terlalu besar dan sepertinya muat untuk memasukkan sebuah bola sepak. Tidak ada yang istimewa dari paket berbungkus coklat itu ... kecuali nama dan alamat pengirimnya.

Spirals: Chain of (Extra) Ordinary StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang