Chapter 7

2.5K 148 18
                                    

Oke, setelah 9 bulan lamanya tidak melanjutkan cerita ini, mari kucoba untuk meneruskannya dan menyelesaikannya. Maafkan jika terlalu lama menunggu cerita ini update, dan semoga masih berminta untuk melanjutkan membacanya.

Well, here... ENJOY and hope you like it :)


Chapter 7

Selepas Ramadhan, keadaan masih baik-baik saja. Hubunganku dengan abang juga baik-baik saja, tanpa ganjalan apapun. Bahkan akhir-akhir ini kami sering berbagi makanan. Maksudnya, kalau aku membeli makan siang dan dia tidak sempat untuk turun keluar kantor, dia pasti minta dibelikan juga, atau dia yang beli dua renteng kopi cappuchino sekaligus untuk stok kita berdua. Dia tahu aku juga menyukai kopi dan mulai ketergantungan. Hal-hal ringan tapi sangat berkesan untukku, dan aku sangat menikmatinya. Hubungan kami yang hanya sebatas teman, akan kupertahankan dengan penuh harap aku memiliki kesempatan untuk meluluhkan hatinya untukku. Akan kutunggu hingga saat itu datang.

Aku berharap keadaan ini tetap begini. Paling tidak program TV ku, masih berjalan mulus dengan rating yang selalu menempati tiga besar, hubunganku baik-baik dengan abang, dan yang pasti aku tetap dekat dengan abang. Tapi bagaimana jika godaan datang menggangguku? Godaan yang membuatku berdiri di tengah persimpangan untuk masa depanku yang lebih baik?

Aku tidak ingat kapan aku mengirimkan lamaran ke stasiun tv sebelah, atau kapan aku melakukan obrolan dengan kru tv sebelah untuk menanyakan posisi yang kosong di sana. Salah satu TV tetangga menawariku posisi langsung sebagai produser program berita; posisi yang belum aku raih saat ini. Gaji yang mereka tawarkan pun jauh lebih besar dari yang kudapat di sini. Tapi tentu saja dengan tuntutan dan tekanan yang lebih besar. Semua orang pasti akan mengatakan aku bodoh, jika aku menolak tawaran itu. Di saat banyak orang yang mengincar posisi itu, ini bak durian runtuh tawaran itu muncul di hadapanku. Dan dengan sekali gapai, langsung dapat kuraih. Tapi yang kutahu, jika aku menerima tawaran itu, aku akan meninggalkan kantor ini dan pastinya akan meninggalkan abang. Bisakah aku meninggalkan dia?

Aku akan membohongi hati jika aku bisa meninggalkan abang. Di saat aku sedang menikmati kebersamaan dengannya, kedekatanku dengannya, meski tanpa status terucap dan hanya sebatas teman dan rekan kerja, aku tidak akan bisa melepaskannya. Aku tidak akam melepaskan kesempatan untuk lebih dekat lagi dengan dia. Hatiku seperti sudah terpasung padanya. Tidak bisa melihat laki-laki lain selain dia. Itukah yang di namakan cinta mati? Mungkin.

"Kalau aku sih, mending diambil, mbak...," Andri memberi pendapat saat aku curhat tentang kebimbanganku ini. "Kapan lagi ada tawaran itu, mbak. Kesempatan untuk masuk TV nasional di Jakarta juga jauh lebih besar."

Aku tergugu, membenarkannya. 'Yea, masuk ke tv tetangga membuka kesempatan yang lebih besar untuk bisa masuk ke TV Nasional di jakarta lebih cepat. 'Tapi bang Ichad???'

"Bang Ichad nggak akan ke mana-mana, dia ada di sini kok, kalau mbak main ke sini," lanjut Andri sangat mengerti perasaanku.

Aku menghela nafas gundah. "Kamu nggak inget apa, sama pacar si abang yang kemarin. Dia kan juga di TV Nasional Jakarta, habis itu nggak lama, putus mereka."

"Yeee, jangan disamain dong, mbak, itu mah, gimana orangnya," protes Andri yang justru membuatku tertawa melihat mimiknya yang lucu.

Aku masih mempertimbangkannya.

"Kalau aku sudah di tv sebelah, terus pengen balik lagi ke sini, bisa nggak ya?" aku penasaran.

Andri menghela nafas pasrah, "Tanya aja sama si bos. Kalau gitu, mending buat aku aja, mbak tawarannya, daripada nggak mau mah."

Tawaku terlepas dengan rasa gondoknya Andri. "Boleh kalau memang buat kamu..."

Andri hanya mencibir menyerah. Sebuah obrolan tanpa hasil.

Lelaki SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang