Chapter 2

2.6K 148 6
                                    

Chapter 2

Keluar halaman gedung perkantoran, kami menuju jalan Arya Jipang, tempat biasa mangkal warung-warung sarapan pagi, tak jauh dari gedung perkantoran kami.  Mulai dari Bubur ayam, nasi kuning,  nasi uduk, kupat tahu, lontong kari, hingga warteg – semua ada, tinggal pilih.

Lokasi perkantoran kami yang dekat dengan kampus sekolah, baik negeri maupun swasta, membuat banyak bermukim kos-kosan untuk para mahasiswa rantau. Dan jika ada daerah kos-kost-an pasti akan ada juga sekumpulan makanan murah yang sesuai dengan kantong para mahasiswa.

Sarapan yang kami pilih pagi ini adalah kupat tahu, dengan tenda bertuliskan 'Kupat Tahu Singaparna' – yang sudah menjadi langganan kami. Bagaimana tidak; sudah banyak, enak, kenyang, satu porsinya hanya 3000 rupiah, lagi! Dia memang menyukai kupat tahu, meski dia menyukai segala makanan, terlebih ikan. Dan porsi makannya cukup banyak. Tapi cukup mengherankan, kenapa tubuhnya tidak pernah gemuk ?

                Sarapan kami diisi dengan keheningan. Tidak ada yang berucap, dan aku lebih menikmati melihat dirinya yang sedang menikmati sarapan paginya.

     "Nanti siang temenin ke Landmark ya," ucapnya. Akhirnya dia bersuara, dengan setengah mengunyah kupat tahunya.

     "Pameran buku lagi, ya?" tebakku. Memang biasanya pameran buku diadakan di Landmark Convention Hall yang ada di jalan Braga.

Dia hanya mengangguk.

Aku tersenyum geli,"Mau taruh di mana lagi buku-bukunya, Bang? Laci Abang saja sudah penuh dengan buku buku Abang, nggak akan muat lagi, Bang." Aku harus mengagumi hobinya membaca, membuatnya tergila-gila pada buku dan harus selalu membeli buku baru.

     "Aku mau beli lemari kecil buat di kantor," sahutnya dengan pasti.

     "Terus bikin perpustakaan kecil di sana?" aku terkekeh.

     "Kayak kamu nggak akan seneng aja, kalau ada perpustakaan kecil di kantor," ia tersenyum nakal.

Aku harus tersenyum mengakui. Ya, aku pun suka buku, dan memiliki perpustakaan kecil di kantor, terlebih di rumah, adalah impianku.

Aku memandangnya dengan sejuta perasaan. Impian lain lagi yang telah berada di tanganku. Wajahnya yang tegas namun menyimpan kehangatan di sana, dengan tulang pipinya yang condong ke atas, dan matanya yang sedikit sipit, cukup pantas menjadi model busana pria berwajah eksotis di luar negeri. Sangat mencirikan dari mana ia berasal. Dia pun mirip dengan Once Mekel, Sang Vokalis Dewa 19 – beneran, nggak boong!  Dan selintas ia cukup terlihat cantik untuk ukuran seorang lelaki. Dia tampak sempurna untukku. Seseorang yang bisaku harapkan menjadi suamiku kelak. Seseorang yang pasti diterima oleh keluargaku.

     "Mama buat kering kentang hari ini, spesial untuk Abang," ucapku masih dengan dirinya yang menyuapkan potongan terakhirnya kupat tahu bersiram bumbu kacang.

     "Huh, oh ya ?" Dia tersenyum senang.

Aku mengangguk, "Itu artinya, Abang harus makan di rumah lagi," dengan tersenyum simpul. Abang memang menyukai kering kentang buatan mamaku, saat terakhir kali makan siang di rumah beberapa hari yang lalu.

Dia harus tertawa geli, kemudian menghela napas lega, dan mengangguk.

      "Nanti sore?" tanyanya.

Aku mengangguk pasti.

      " Ok."

Aku tersenyum lebih lega lagi. Paling tidak orang rumah benar-benar sudah menerima dia. Teringat saat pertama kali dia datang ke rumah dan bertemu dengan orang tuaku, betapa mereka meragukan sosok Abang. Orang tua mana yang tidak akan kaget jika melihat putri kesayangannya membawa kawan cowok dengan rambut panjang, sangat dan ada potongan preman.

Lelaki SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang