Chapter 5
Posisi kami tetap sama hingga terdengar suara adzan subuh. Untung saja hari ini giliranku libur, begitu juga dia. Tidak banyak kata yang terucap setelahnya, hanya terima kasih dengan wajahnya yang masih terlihat letih, dan dia beranjak dari sisiku. Aku berdiri terpaku melihatnya pergi. Kulirik ufuk timur, sebentar lagi matahari terbit, dan aku belum pulang sejak semalam. Selepas shalat subuh, aku pun pulang ke rumah.
Kejadian itu sangat membekas olehku. Masih sulit dipercaya, abang akan seperti itu. Aku seakan tidak mengenalnya. Dia seperti tertutupi oleh setan. Setan apa, aku tak tahu, dan aku belum berani menanyakannya. Tapi dengan dia yang akhirnya tidur di kakiku, membuatku sedikit lega. Paling tidak aku telah memberinya ketenangan malam itu.
Namun akibat dari bermalam di atap itu membuatku jatuh sakit. Aku pun tidak masuk di hari berikutnya.
Abang masih memenuhi pikiranku selama aku di rumah. Rasa khawatir, bagaimana keadaannya sekarang, menyiksaku. Kucoba untuk menghubunginya. Tidak ada satupun yang dijawabnya. Aku semakin tidak tenang. Setelah kejadian malam itu, tidak bisa dengan tidak memikirkannya. Abang sedang ada masalah. Abang butuh seseorang. Ingin rasanya aku cepat-cepat masuk kantor dan berharap dapat melihat sosoknya di sana dengan senyum di wajahnya.
Tapi apa yang kudapat saat aku kembali ke kantor dengan badan setengah sehat karena memaksakan untuk masuk kantor, abang tidak ada di sana. Abang tidak ada di kantor. Tidak ada secangkir coklat menyambutku. Di mana Bang Ichad?
“Ichad kayaknya nggak masuk. Dari kemarin siang pergi, belum balik ke kantor lagi,” Irwan menjawab, saat aku menanyakan tentang abang.
Jawaban yang laangsung membuatku cemas. Mungkinkah abang di skors akibat kejadian kemarin?
“Ada sesuatu terjadi dengan dia, waktu aku nggak masuk kemarin?” Aku tak dapat menyembunyikan kecemasanku.
Irwan mengangkat bahunya. “Nggak ada. Siang dia menghadap si bos, lalu pergi dengan membawa tasnya.”
“Ke mana?” aku semakin tidak tenang.
Irwan kembali mengangkat bahu, dan tak menjawab apa-apa, mengartikan dia tidak tahu.
Aku kembali mencoba menghubunginya melalui telepon. Tapi tetap tidak diangkatnya. Kuputuskan untuk menuliskan pesan melalui sms.
“Bang, abang di mana? I’m worried. Just let me know, if you are okay ….”
Aku membacanya kembali, sebelum menekan tombol ‘send’. Terdengar kemudian, nada pesan terkirim dan terbaca. Aku menunggu dengan hati berdebar. Apakah abang akan menjawabnya?
Tapi tidak ada. Samsungku masih sunyi tanpa ada tanda pesan balasan masuk. Akhirnya aku menyerah. Abang tidak ingin diganggu. Mungkin memang seharusnya kubiarkan saja, untuk dia menenangkan diri, entah di manapun dia sekarang. Toh akupun harus kembali bekerja. Hari ini aku harus meliput latihan para pemain Persib di lapangan hijau menjelang tanding mereka melawan Persela, minggu besok.
Kutarik nafas dalam-dalam, sebelum beranjak ke meja Andri menyiapkan liputan kita.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
Lelaki Senja
RomanceUsianya baru 26 tahun, tapi Putri Ayuningtyas merasa telah mencapai seluruhnya. Menjadi Produser Program pada TV Nasional adalah cita-cita yang ia impikan. Karirnya dimulai dari menjadi produser program musik, lalu meningkat menjadi Produser Program...