Chapter XXI

13.7K 851 37
                                    

"Paru-paru?!" Marsha terbelalak mendengar penuturan sang perawat.

"Loh, iya mba. Kan pasien mengidap penyakit kanker paru-paru stadium 3, mbanya gak tau, ya?" jelas perawat 1

"M..maksudnya, Prilly--" marsha seketika mematung tidak bisa melanjutkan kata2nya.

"Mohon maaf, kita harus buru2 melakukan transplantasi paru-paru untuk pasien." Perawat 2 membawanya keluar dengan tergesa-gesa.

"Sus tapi.. siapa yang mendonorkan paru-paru untuk Prilly?" tanya Marsha ikut keluar. Terlihat 3 perawat mendorong kasur tempat Prilly berbaring. Mereka terdiam sebelum saling pandang.

"Sus, kenapa diem?!" sentak Marsha. Tak lama, mereka telah tiba di depan ruangan operasi, Prilly dibawa masuk oleh 2 perawat sedangkan 1 perawat lagi menutup pintu rapat2.

"Maaf mba, kami gak bisa kasih tau siapa pendonornya." ucap perawat sebelum menutup pintu rapat2.

Bug!

Marsha mematung. Tidak percaya akan nasib Prilly yang mengenaskan, menyesali semua perbuatannya kepada Prilly. Jika Marsha bisa mengulang waktu, ia ingin bahagia bersama Prilly dan merelakan Ali untuknya. Tunggu, Ali? Kemana Ali? Apakah Ali yang mendonorkan paru-parunya untuk Prilly? Tanpa Marsha sadari, air mata sudah menetes di sudut matanya.

"Ngga, ngga. Ali ga mungkin senekat itu, Mars." Marsha menggelengkan kepalanya menepis pikiran buruknya.

"Oh, astaga! Kemana yang lain? Mereka ga tau, Prilly bakal operasi?" Marsha mengambil handphonenya dan dengan cepat menelfon Ghina.

***

"Hmm.. enak banget, nih! Lo pada gak mau makan?" ucap Jordan sambil mempamerkan pasta yang baru ia beli. Saat ini Jordan, Kevin dan Ghina sedang berada di cafe.

Kevin dan Ghina tampak lesu, begitu Jordan menyadarinya ia ikutan lesu karena sahabat2nya.

"Mikirin Prilly, ya?" Jordan tidak nafsu makan sesaat, dan hanya mengaduk2 pastanya.

"Iya. Feeling gue ga enak banget, deh. Cepetan dong lo Jordan, makannya. Lelet banget, sih!" celetuk Ghina.

"Eh bentar deh, guys. Ali?--" Kevin menatap Jordan dan Ghina bergantian.

"Ali!!" pekik mereka bersamaan, para pengunjung cafe menatap mereka aneh.

Tring tring!

Ponsel ghina berbunyi,

Marsha Aruan calling..

Baru melihat namanya saja, sudah malas. Ghina tidak berminat untuk mengangkatnya.

"Siapa yang nelfon, Ghin?" Jordan menautkan alisnya. Ghina melempar pelan handphonenya ke meja untuk menunjukkan jordan si penelfon.

"Angkat, lah." perintah Kevin. Ghina memutar bola matanya malas dan mengasih kasar ke Kevin menyuruhnya untuk mengangkat.

"Halo Ghin, lo pada kemana aja sih?! Prilly mau operasi!"

"Astaga! Gue hampir lupa."

"Kevin, ya? Gue yakin kalian lagi pada ngumpul, kan. Please cepet ke RS, gue ga tau lagi harus gimana!!"

"I-iya Sha, gue sama yg lain kesana."

Tuut..

Setelah sambungan terputus, Kevin mengarahkan teman2nya agar segera ke RS. Bagaimana bisa mereka melupakan Prilly? Dan dimana Ali? Kenapa di saat seperti ini Ali malah menghilang entah kemana?

Tak butuh waktu lama, mereka telah sampai ke halaman RS dan langsung memasuki tempat yang dimaksud Marsha.

"Marsha!" pekik Ghina sedikit kesal.

"Ghina!" marsha menghampiri Ghina dan memeluknya erat, sedangkan Ghina bingung haruskah ia membalas pelukan Marsha atau tidak, rasa kesal masih tersimpan di benaknya.

Akhirnya, dengan ragu Ghina membalas pelukan Marsha. Ia tidak boleh egois kali ini.

"Gue ga tau, Prilly separah ini.. gue-"

"Udah ya.. Lo ga usah salahin diri lo sendiri, udah ga ada gunanya lagi. Sekarang, kita berdoa aja buat Prilly." gumam Ghina dalam pelukan Marsha dan menyeka airmata marsha.

"Ali, kemana?" ucap Marsha setelah memeluk Ghina.

Kevin dan Jordan tampak saling pandang, masalahnya mereka juga tidak tau Ali kemana.

"Apa jangan2.." ucap Marsha menggantung.

"Ali yang donorin paru-paru buat Prilly?!" Balas Ghina lantang

"Ini ga mungkin..." Jordan menatap kosong hadapannya, rasanya kakinya tidak kuat untuk berpijak lagi. Ia belum siap jika harus kehilangan sahabat kesayangannya itu. Mendonorkan paru-paru bukanlah hal sepele.

"Jordan lo tenang dulu" Kevin menghampiri jordan dan membawa jordan untuk duduk di kursi tunggu.

"Tapi Ali emang pernah bilang sama gue, Ali terobsesi banget buat donorin paru-parunya, Vin! Gimana gue bisa tenang?" Jordan mengacak rambutnya frustasi.

Jordan menerawang mengingat betapa cintanya Ali kepada Prilly. Saat itu, mereka tinggal berdua di kelas.

"Li, kenapa sih akhir2 ini lo ngelamun terus?" Jordan memperhatikan ali yang sangat lesu.

"Gapapa, gue kepikiran sama Prilly. Gue gak tega ngeliatnya.." Jordan menepuk pelan bahu Ali

"Ga usah terlalu dijadiin beban, kita cuma harus banyak berdoa buat Prilly. Dia pasti sedih liat lo lemes kayak gini, ya?" ia mencoba memberikan pengertian untuk sahabatnya itu.

"Tenang aja Prill, aku bakal selamatin kamu. Paru-paru pun bakal aku donorin untuk kamu" gumam Ali pelan, tapi masih bisa Jordan dengar.

"Gue cinta Prilly, Jo. Gue bakal lakuin apapun itu untuk Prill, sekalipun menaruhkan nyawa gue." ucap Ali mantap, Jordan menatap iba sahabatnya itu.

"Tapi lo ga bisa salahin Prilly juga, dong." kata-kata Kevin membuyarkan lamunan Jordan.

"Siapa yang nyalahin Prilly? Gue cuma takut terjadi apa-apa sama Ali. Disini posisinya, gue juga sahabatnya Prilly. Jadi rasanya gak mungkin gue nyalahin Prilly." jelas Jordan panjang lebar.

"Gue ngerti, iya. Tapi lo ga bisa gini terus Jo, kita semua juga sedih ngeliat Prilly tersiksa dan sekarang Ali ngilang entah kemana. Oke, kita jangan pikirin hal2 buruk dulu. Tepis jauh2, jangan mikir yg engga2" Ghina, Marsha dan juga Jordan mengangguk lemah. Mereka menunggu Prilly yang masih di dalam ruang operasi.

***

"Apa kamu yakin mau donorin paru-paru untuk Prilly? Kamu masih muda, nak." ucap dokter kepada pemuda dihadapannya.

"Apapun saya lakukan untuk Prilly, dok. Saya rela berkorban buat Prilly" balasnya mantap. Dokter menghela nafas kasar.

"Kalo itu mau kamu, saya bisa apa? Yasudah, kebetulan tadi saya sudah cek, golongan darah kamu cocok sama Prilly, paru-paru juga cocok. 5 menit lagi operasi akan dimulai" dokter menepuk bahu pemuda itu. Pemuda itu tersenyum puas.

"Ayo masuk ke ruang operasi. Pakai dulu ini ya" dokter menyerahkan pakaian hijau2 khas rumah sakit.

Tring

Operasi dimulai, lampu pertanda operasi pun mulai menyala di luar.

"Dok! Jantung pendonor mulai melemah." pekik sang suster panik, dokter mengarahkan agar tenang dulu. Setelah itu, dokter menempelkan alat seperti setrika ke tubuh pendonor.

"Nyawa pendonor tidak bisa diselamatkan.."

---

Hello! I'm back :D
Beberapa chapter lagi menuju tamat, aku tau chapter ini gajelas bgt kan ya? :( i knoww, maaf setelah sekian lama menghilang cuma bisa update dikit haha.

Vote&comment yg banyak baru aku lanjutin,

<3

ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang