Chapter XXII - End

23K 908 84
                                    

Before

Ali sedang jalan terburu-buru di koridor rumah sakit, Prilly pasti membutuhkannya saat ini, pikirnya.

"Li!!" pekik seseorang yang wajahnya familiar bagi Ali.

Ali mengerinyitkan dahinya. "Ya?"

"Lo Ali pacarnya Prilly, kan?" pria itu mulai mendekat ke arah Ali. Ali mengangguk tak paham.

"Gue Tezi, temennya Prilly-"

"Ooh, Tezi! Lo ada urusan apa Tez, di Rumah Sakit gini?" Ali menjabat tangan Tezi.

"Gue emang sering ke RS, Li." Tezi tersenyum miris, entah apa yang ada di pikirannya. Ali memiringkan kepalanya mencoba mencerna kata2 Tezi. Sering ke RS? Aneh, pikirnya.

"Oh, kalo gitu gue duluan ya. Prilly butuh gue banget, Tez." Ali pun membalikkan badannya dan hendak bergegas ke ruang administrasi, sebelum melakukan transplantasi paru-paru pasti harus mengisi data dulu.

"Eh, lo mau ngapain?" Tezi menahan Ali, bukan dengan menahan tangannya hanya saja menahan dengan kata-katanya.

"Gue-"

"Operasi? Buat Prilly, ya?" ucapan Tezi sangat tepat sasaran. Bagaimana Tezi bisa mengetahuinya? Sedekat itukah Tezi dan Prilly. Sebelumnya, memang Prilly sering berbagi cerita dengan Tezi seiring waktu berjalan mereka menjadi sangat dekat, sebagai sahabat. Sampai2 penyakit Prillypun Tezi mengetahuinya.

"Iya tapi gue harus buru-buru, Tez."

"Tunggu Li. Ambil aja paru-paru gue." Apa dia sudah gila? Ingin menaruhkan nyawanya demi Prilly? Ali terbelalak.

"Lo gila? Lo itu masih punya waktu banyak, masa depan masih panjang-"

"Panjang lo bilang?" Tezi tersenyum kecut. Nyatanya, ia divonis hidup tidak lama lagi. Karena penyakit Alzheimernya yg tak kunjung sembuh.

"Gue sakit! Lo ga tau itu. Oke, gue bisa terlihat sehat2 aja di depan orang2. Tapi gue punya penyakit yg mematikan Li, Alzheimer." Lanjutnya. Ali benar2 tidak percaya, apakah ia tega membiarkan Tezi memberikan paru2nya untuk Prilly? Tentu saja tidak. Penyakit Alzheimer bisa saja disembuhkan, Tezi memang nekat.

"Jadi, biarin gue donorin paru2 gue ini untuk Prilly. Gue ikut bahagia kalau Prilly bahagia bersama lo, Li. Asal lo tau itu." Ali menggelengkan kepalanya. Ia tidak mau terjadi apa2 dengan Tezi, tapi ia juga tidak mau Prilly pergi.

"Tez-"

"Li..."

Ali menghela nafas kasar. Mau tak mau, paru-paru Tezi harus diperiksa terlebih dahulu. Apakah cocok atau tidak.

"Bagaimana, dok? Paru-paru saya cocok?" tanya Tezi setelah paru-parunya diperiksa.

"Tidak. Paru-paru kamu sangat bertolak belakang dengan Prilly, hal itu bisa membahayakan jika masih ditindak lanjutkan. Jadi, sebaiknya mas yang itu aja yang mendonorkannya karena paru2nya cocok." sang dokter melirik Ali yang sedang menopang dagunya dengan tangannya sendiri.

Apa boleh buat? Tezi tidak bisa mendonorkan paru-parunya.

"Goodluck, Li." Tezi menepuk pelan pundak Ali. Ali membalasnya dengan senyuman.

"Tapi lo udah izin kan, sama orang tua lo?" Ali hanya mengangguk.

"Di izinin, kok. Lagipula bokap gue tau, gue cinta bgt sama Prilly. Dan, gue mau nyusul nyokap gue.. gue kangen." jelas Ali, tanpa dijelaskan secara detail Tezi sudah mengerti.

"Maafin gue ya, Li. Gue ga bisa donorin paru2 gue buat Prilly.." Tezi menunduk, ali pun mengelus bahu Tezi.

"Ga perlu minta maaf, gue juga maunya cuma ada paru-paru gue selain orang lain di tubuh Prilly. Makasih banget, lo udah ngerti" Ali beralih memeluk Tezi sekejap.

ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang