37 ♤ Proses Pendewasaan

266 32 39
                                        

【☆】★【☆】

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

【☆】★【☆】

Langit sore memudar jadi jingga keabuan. Di dalam ruang BEM yang sudah mulai lengang, tawa-tawa keras tak lagi rutin terdengar seperti bulan-bulan awal jabatan. Sebaliknya, ada sejenis keheningan yang menyisakan gema, seolah tiap sudut ruangan ikut menyimpan kenangan.

Zergan menyandarkan tubuhnya pada sofa yang tersedia, membiarkan keheningan tetap menyelimuti.

"Gue kadang mikir," kata Zergan tiba-tiba, "gimana, ya, kehidupan setelah jadi demisioner? Kayaknya lumayan sepi, gak akan lagi sibuk ngurusin rapat, prokeran, berbagai macam agenda, dan sederet kegiatan lainnya."

Dipta mengalihkan atensinya dari layar ponsel. "Bener, Gan. Ke kampus juga tinggal bimbingan doang, gue gak nyangka ternyata kita bisa bertahan sampai menjelang akhir periode gini. Ya, walaupun perdebatan-perdebatan itu pasti ada, tapi kita tetep bisa ngelewatinnya."

"Gue yakin bakalan kangen momennya, sih. Cuma di satu sisi juga lega banget kalo udah gak menjabat lagi."

Sebelum Dipta sempat membalas, suara decitan pintu membuat keduanya mengalihkan pandangan. Attar berjalan mendekat, lalu ikut duduk di sofa sebelah Zergan. Wajahnya kali ini tampak lebih ceria.

"Kenapa senyum-senyum mulu?" Zergan memutuskan untuk bertanya lantaran sikap Attar terlihat sedikit aneh. Sejak awal masuk sekre, cowok itu tidak berhenti tersenyum.

"Gue jadian."

"Tiba-tiba banget, sama siapa?" Kali ini, Dipta yang bertanya.

"Cewek paling cantik se-Unpad dan sedunia malah, Anya Geraldine."

"Yee ... Anya Geraldine mana mau sama buntelan kentut kayak lo!"

Attar menatap Dipta sinis, tidak terima dengan perkataannya barusan. "Sembarangan lo! Muka seganteng gue diremehin. Gue jadian sama Anya Jovanka, dong. Anti HTS-HTS lagi, gak zaman! Emangnya lo? Udah HTS, beda agama lagi."

Gantian Dipta yang tidak terima sehingga ia melemparkan pulpen pada Attar, tepat mengenai dadanya dan membuat cowok itu tertawa kencang.

"Kalo lo gimana, Gan? Siklusnya bakalan sama kayak pas sama Lava lagi?" Attar beralih pada Zergan yang sibuk dengan ponselnya.

"Gak tahu, gue lumayan kecewa, sih, sama Daisy. Gue sering banget menawarkan bantuan, gue mau ngebiayain semua pengobatan Bu Marlina, tapi ternyata dia lebih milih uang dari Mama dan menjauhi gue."

Zergan menghela napas. "Gue ngerasa kayak ... gue gak sepenting itu buat dia?"

"Gue paham, tapi mungkin juga Daisy punya alasan lain yang bikin dia emang memutuskan buat gak sama lo lagi, Gan."

"Mungkin. Gue kadang masih suka gak ngerti sama cewek."

"Lo benci dia?"

Zergan menggeleng pelan. "Gue gak benci Daisy dan gak akan pernah bisa benci, gue cuma kecewa."

Tulisan untuk Zergan ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang