"Berapa tingginya?"
"Sekitar 170."
"Kau yakin? Maksudku, lihat dia! Tidak seperti 170."
"Dasar bodoh. Sepatunya lihat!"
Samar-samar aku mendengar percakapan atau yang lebih pantas disebut bisik-bisik dari dua orang pria yang berdiri dibelakangku. Aku bisa melihat wajah menyebalkan mereka –sedikit mesum- dari pantulan cermin rias yang kini sedang ku gunakan untuk mempercantik diri sambil menunggu sesi ketiga pemotretan hari ini. Kasak-kusuk kedua pria bodoh itu sangat mengganggu satu jam istirahat yang diberikan Marcus Cho, sang photografer muda yang didaulat membidik gambarku. Ini kesempatan berharga dan aku berterima kasih dengan angkuh pada Marcus beberapa jam lalu karena dia memberikan waktu berharga itu dengan cuma-cuma.
Tak cukup hanya pada dua makhluk tengik ini, forum panas lainnya terbentuk tak jauh dari arah samping. Oh, God. Haruskah kumpulan tiga orang wanita dengan kecantikan yang 'memaksa' itu ikut membahas topik serupa? Bahkan wajah cantik –kata orang disini- mereka adalah palsu. Dengar, aku memang bukan ahli bedah plastik terkemuka di negeri ini, tapi aku memegang kuat rahasia ketiganya. Gadis dengan pita ungu di rambutnya adalah pelanggan klinik kecantikan dekat apartmentku. Dia telah melakukan operasi pada rahang hingga wajahnya tampak terlihat mungil sekarang. Tak hanya itu, dia juga mengubah struktur tulang hidung agar terlihat lebih mancung. Menjijikan.
"Aku berani taruhan. Dia memakai heels 15 senti untuk menggoda Tuan Cho."
Si pendek yang berdiri di tengah. Ku pikir dia adalah satu dari sekian banyak wanita yang tak bisa menerima kekurangan dalam dirinya. Well, aku paham dan sedikit maklum jika mereka tak puas dengan wajah yang diberikan Sang Pencipta. Tapi, untuk tinggi badan? Jangan katakan gadis dengan blazer kuning itu ingin melakukan implan tulang demi mendapatkan kaki indah. Ini membuatku muak dan...
Shit.
Dia berani menghinaku. Persetan dengan Marcus. Aku memakai heels setinggi ini karena aku suka. Sial.
"Tak biasanya dia menggulung rambut seperti itu. Ku rasa dia ingin mempertontonkan punggungnya."
Terakhir, si kurus berkacamata. Tsk, tidak ada yang bisa dilihat dari tubuh kering itu. Bokong rata, dada rata, tulang selangka yang menonjol parah, belum lagi tangan dan kakinya. Bagaimana dia bisa hidup dengan postur alien seperti itu? Benar-benar tidak bisa dibanggakan. Tak punya nilai jual.
"Lihatlah! Semua serba-"
"Ada masalah?"
Jengah dengan cibiran murahan dari mulut sampah mereka berlima, aku bangkit dari kursi empuk yang menemaniku beristirahat. Bukan aku jika tidak melempar tatapan mengerikan, terlebih pada si ratu operasi plastik, si pendek dan si kurus. Tatapan intimidasi yang kuberikan ampuh membuat mereka tunduk diri. Mari kita tinggalkan sejenak dua pria yang tak jelas asal-usulnya. Ada masa dimana mereka akan menerima penindasan. Sekarang aku hanya ingin bermain-main dengan peri-peri neraka ini. Hentakan heels 15 senti-ku begitu nyaring terdengar dan ku rasa telinga mereka panas untuk mendengarnya. It's their risk.
"Memotong rahang demi terlihat mungil sekecil kepingan CD. Memaksa memakai heels demi terlihat tinggi tanpa mempedulikan tumit. Bokong rata, dada rata, terlalu kurus, tidak punya nilai jual." Menjabarkan satu persatu kekurangan yang mereka miliki adalah kesenanganku. Aku suka melihat ekspresi terkejut mereka, seolah tak percaya aku bisa sekejam itu. "Sampah."
"Elsa."
Aku mendongak. Merasa terhormat seorang photografer memanggil modelnya langsung di ruang make up. Kemana para asistenku? Tak apalah, tidak rugi juga. Ini adalah kesempatan untuk membuktikan kalau aku tidak bisa diremehkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Miss High Heels
FanfictionElsa Kim, seorang model cantik yang dijodohkan dengan pria imut bernama Kim Ryeowook. Elsa dengan sombong menolak perjodohan sepihak itu. Ini kutukan dan Elsa mengamininya. Belum lagi Ryeowook bukanlah tipe ideal Elsa. Pendek, begitulah intimidasi E...