Family Meeting. Failed?

71 4 2
                                    

"Cepat pulang! Atau kami akan marah besar padamu."

Elsa menatap horor layar ponselnya. Itu sang ibu yang sedang mengancam dirinya agar cepat kembali ke rumah. Ada rasa kesal bercampur muak selama percakapan kurang lebih tiga menit itu. Bagaimana tidak? Elsa diminta harus sudah ada di rumah sebelum pukul tujuh malam dan konyolnya waktu yang dia miliki untuk bisa sampai sesuai dengan keinginan penguasa kediaman tidak kurang dari lima belas menit, sedangkan jarak tempuh dari studio menuju rumah memakan waktu satu jam lebih.

Sial.

Dia bahkan belum selesai dengan semua sesi pemotretan. Jadwal selesai pukul sepuluh malam, mustahil Elsa meninggalkan tanggung jawabnya begitu saja. Dia tidak bisa melakukan itu. Mau bagaimana pun profesionalitas adalah segalanya. Elsa tak ingin dicap tidak kompeten dalam melaksanakan pekerjaan. Dia benci jika hal itu terjadi.

Kesal karena dipersulit situasi, Elsa pun melampiaskannya pada ponsel ungu eksklusif buatan Negeri Paman Sam yang dia beli bulan lalu. Benda persegi panjang itu kini hancur mengenaskan. Tak ada yang bisa Elsa lakukan selain meluapkan kekesalannya dan hal tersulit yang tidak bisa dia lakukan adalah membantah perkataan sang ibu tercinta yang sudah bertaruh nyawa melahirkan dirinya. Seberapa menyebalkan Nyonya Kim, Elsa tetap mencintainya. Siapa yang mau dikutuk sebagai anak durhaka? Elsa yang dikenal karena sifat sombongnya pun tak ingin sang ibu melakukan hal mengerikan itu.

"Ada masalah?"

Suara Marcus menggema di sela-sela break sesi keenam pengambilan gambar. Dia tampak mengkhawatirkan Elsa yang hari ini terlihat agak berbeda. Entah itu apa, tapi Marcus sadar ada yang kurang dari model pilihannya.

"Tidak." Elsa menatap miris nasib ponsel yang tak bersalah itu sebelum dia memutuskan pergi dari ruang rias yang biasa dipakainya untuk istirahat.

"Mood-mu sangat buruk."

Ucapan Marcus menghentikan langkah Elsa. Dia menoleh, menatap sang fotografer yang bersandar di ujung pintu. Merasa sedang dikritik, Elsa pun berbalik arah menghampiri Marcus.

"Marc... boleh aku pulang cepat hari ini?"

Marcus menautkan alis. Jarang sekali –hampir tidak pernah- model cantik itu mengajukan permintaan tidak profesional seperti tadi. Dia paham betul Elsa bukan tipe orang yang akan mengabaikan pekerjaannya begitu saja tanpa alasan yang kuat.

"Alasannya?"

"Ibuku memaksa aku pulang. Sebelum jam tujuh aku sudah harus ada di rumah."

Marcus tertawa kecil, tapi sedetik kemudian dia kembali pada ekspresi semula. Awalnya dia ragu dengan alasan sepele itu. Hanya karena Ibunya memaksa pulang, lantas Elsa menurutinya semudah itu?

"Haruskah aku ingatkan jam berapa kita pulang?"

"Sisa lima menit lagi, Marc. Ku mohon." Elsa benci memelas. Ini bukan gayanya. Tapi, ancaman wanita nyentrik itu terlalu jelas untuk diingat. Elsa terpaksa merendah memalukan. Setidaknya ini lebih baik daripada harus menerima sumpah serapah dari keluarga karena itu akan membuat hidupnya bertambah susah.

Sebentar Marcus menatap Elsa. Dia tahu gadis itu sedang panik, kesal dan kebingungan. "Kau yakin bisa sampai kurang dari lima menit?"

Demi langit dan bumi, Elsa mengutuk kesialan dalam dirinya. Sesuatu yang tidak mungkin dilakukan sekali pun dia mempertaruhkan kehidupan di masa depan. Haruskah dia berharap sebuah keajaiban atau mujizat lain untuk bisa duduk manis bersama kedua orangtua dalam waktu sekejap? Atau bolehkah Elsa memejamkan mata sebentar dan ketika membuka mata dia sudah berada di ruang tamu rumahnya yang hangat?

Miss High HeelsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang