Sebuah suku yang damai tinggal di lembah permai, yang berada di kaki gunung dan terisolasi. Hamparan pemandangan hijau memonopoli warna; sejauh mata melihat. Tanah mereka di musim penghujan selalu diberkahi dengan limpahan kesuburan yang tak terhingga; padi, palawija, dan jewawut tumbuh dengan subur di ladang-ladang tadah air yang mereka buka pada tepi bendungan. Kala musim kemarau tiba, ketika ladang tak lagi ramah menyediakan pangan; saat tanah kering keronta, penduduk suku Hinka akan sepenuhnya mengantungkan hidup mereka pada hasil laut; ikan, kerang, dan udang serta kepiting menjadi sandaran pangan mereka.
Roh langit sangat melimpahi Hinka dengan segenap kemakmuran yang bisa diberikan dewa kepada umat manusia. Hal tersebut seolah menyiratkan usaha para dewa untuk mencoba membayar sebuah tragedi yang pernah mereka turunkan di Hinka. Tragedi itu terjadi tepat 12 tahun silam. Siapapun tak pernah bisa menyangka dan membayangkan badai musibah itu menerjang desa. Sebuah endemi penyakit mematikan yang membunuh hampir setengah warga Hinka: awalnya mereka hanya demam, demam yang singkat-hanya dua kali matahari muncul- kemudian meninggal.
Saat itu adalah masa paling kelabu, sehingga seluruh dukun Hinka dikumpulkan. Mereka dikerahkan untuk membuat upacara menenangkan para ruh langit yang marah, dan sebagian lagi keluar masuk hutan mencari tanaman yang dapat digunakan menyelamatkan korban dari endemi penyakit mematikan.
Tepat pagi itu, saat matahari belum mencapai ujung tiang dan jam matahari baru bergerak beberapa jengkal ke kanan. Sang Sargon, kepala suku Hinka mengantarkan Sun -Dukun- Hinka yang biasa di panggil Sun He ke tempat para korban yang kritis. Kepala suku dan dukun Hinka itu berjalan beriringan, yang mana memberikan kesan kontras akibat penampilan mereka yang sangat berlainan. Sargon berbadan tegap dipenuhi otot mengunakan kain penutup selutut yang mengekspos perut warna tanah liatnya. Kalung dari taring harimau dan buaya menghiasi lehernya, yang terkadang terlihat bertabrakan dengan manik-manik perunggu yang disusun menjadi rangkaian hiasan dalam selendang anyaman akar pohonnya. Sedangkan Sun He yang ringkih hanya mengenakan tenunan kain panjang dari kulit kayu yang dililitkan pada sekujur tubuhnya.
Menurut kabar yang berhembus; konon Sun He telah berhasil menyelamatkan nyawa seorang bocah dari endemi penyakit ini. Dan seketika itu juga keberhasilan Sun He memberi harapan kepada banyak orang.
"Sudahkah kalian bawa kemari ramuan akar kina dan madu yang tadi telah kuperintahkan untuk disiapkan?" suara Sun He selalu terdengar berkharisma sehingga membuat para Rei Sun, para asisten dukun itu sangat menghormatinya.
"Sudah Sun," jawab Rei Sun dengan sikap penuh hormat.
"Rei Sun, kalian bisa menaruh ramuan hasil racikan Sun He ke dalam gentong tanah ini," seorang wanita setengah baya yang terlihat sangat gempal, dan bugar mengarahkan kedua Rei Sun untuk menuang ramuan dalam gentong yang mereka bawa.
Tak jauh dari tempat wanita itu, Sargon bertanya pada Sun He yang telah berhenti tepat di dekatnya. Dengan suara bass miliknya, ia terdengar penuh kuasa dan wibawa, "bagaimana kondisi anak itu?"
Sun He menoleh pada Sargon dengan kesopanan dan gerakan kepala yang tidak mengoyahkan kharisma kebijaksanaannya, "anak itu sudah membaik Sargon."
"Untunglah melalui perantara anak itu Sun He berhasil menemukan obat untuk warga, padahal sebelumnya Sun Agung Mehro telah melarangmu. Mengingat hubungan pertemanan kita di masa lalu, kali ini aku benar-benar memuji kekeras-kepalaanmu..."
Sebelum mereka bisa bercakap-cakap lebih dalam lagi tentang riwayat persahabatan mereka, seorang prajurit Hinka terlihat berlari tergopoh-gopoh sehingga membuat kain kasar jalinan akar pohon yang dia pakai bergoyang-goyang, dan ujungnya terkena cipratan lumpur. Ia masih berlari tanpa menghiraukan kaki telanjangnya berdarah karena tergores akar pepohonan dan kerikil yang berhamburan. Hal yang seolah semakin menegaskan betapa penting dan gentingnya berita yang sedang ia bawa. Ia baru saja menghentikan gerakannya ketika jaraknya hanya dua tombak atau sekitar tiga meter dari tempat berdirinya Sargon dan Sun He.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hinka
RomanceSebuah tim Antropologi dan Arkeologi Indonesia menemukan sebuah prasasti suku Hinka, suku yang hilang dari akhir zaman perunggu di Indonesia. Penemuan tersebut kemudian menjadi awal beredarnya kisah cinta ras Deutro Melayu ke zaman modern. Secara ga...