#2

3.4K 59 4
                                    

John Untuk AJ #1


Namaku John. John saja. Tanpa ada nama Bapak. Dulu aku berpikir apa karena aku tak mengenali bapakku dan tak butuh mencaritahu lagi sehingga aku tak perlu mengenakan namanya di belakangku, atau mungkin aku ini ber-ibu serupa Bunda Maria, dan aku seperti Yesus Kristus yang lahir tanpa Bapak.

###

"Usiamu 23 tahun. Dan kalau kau berbicara, kau tidak tampak seperti apa yang kuduga. Kau cerdas. Andai saja kau kuliah, kukira kau akan jadi sosok sempurna. Fisikmu. Otakmu. Juga prospek kariermu."

"Ibuku cerdas. Ibu dulu kuliah. Dia hobi membaca, Ibu selalu bilang, ia mungkin tak bisa mewariskanku harta, namun dengan segala keterbatasan, ia selalu berusaha membelikanku buku. Itu mungkin adalah warisan paling berharga darinya. Aku jadi hobi membaca. Apa saja."

"Bisa kutebak kau meluangkan sebagian besar waktumu dengan membaca. Ibumu pasti ibu yang hebat."

Aku menggeleng, "Ibuku tak lanjut kuliah karena hamil sebelum menikah dengan bule brengsek! Itu aib bagi keluarga dan orang sekampung. Bule itu mengajaknya tinggal bersama di rumah yang dibelinya di sebuah daerah pinggiran di kota Bandung. Tapi saat aku baru berumur beberapa bulan, si bule itu pergi dan tak kembali. Ibu tak mau pulang ke rumah nenek. Dengan sisa tabungan dan mungkin dari uang pemberian si bule, Ibu mengontrak rumah. Ibu membesarkanku seorang diri. Dia tak punya harapan lain kecuali mengasuhku. Oh ya, perlu kutegaskan, aku menolak membicarakan ayahku. Tak ada kompromi."

Dia mengangguk dan berujar, "Hmm, fakta itu tak mengubah keadaan bahwa kau seorang yang cerdas, banyak yang berhasil kuliah di tengah keadaan keluarga yang tak beruntung. Banyak donatur dan beasiswa di mana-mana."

Aku beranjak mengambil sesuatu di dompetku: sepucuk surat.

###

Jakarta, 5 Agustus 2009

Ibuku Sayang, apakabar? Semoga ibu baik-baik saja. Sehat, tak kurang suatu apapun. Ibu harus banyak istirahat, jangan terlalu memaksakan memetik teh. Aku baik-baik saja di sini.

Bang Sahir baik sekali, dia mau berbagi kamar denganku dan tak memintaku urun membayar sewa kamar sampai aku mendapatkan pekerjaan. Uang yang Ibu berikan masih cukup, Ibu tak perlu menitip lagi ke Asep. Lagipula Bang Sahir juga mengerti. Dia menanggung segalanya.

Oh, ya, Bu, kemarin aku dapat pemberitahuan diterima bekerja di restoran jepang. Aku mulai masuk tanggal 1 pekan depan. Gajinya lumayan. Nyaris dua jutaan. Kata Bang Sahir, kalau aku rajin menabung, setahun hingga dua tahun ke depan aku bisa kuliah, sambil tetap bekerja pada malam hari. Doakan aku ya, Bu, bisa masuk fakultas hukum.

Ibu yang kurindukan.

Aku betah tinggal di sini, tetangganya juga pada baik. Ada tetangga mahasiswa yang mengizinkanku meminjam bukunya. Setiap Minggu sore aku juga ke Taman Ismail Marzuki, di sana ada kursus gratis bahasa Inggris.

Doakan aku ya, Bu, agar tahun depan aku kuliah. Aku hanya ingin belajar dan cari uang yang rajin saja saat ini.

Ibuku sayang. Jaga diri Ibu, ya. Aku akan buktikan bisa membahagiakan Ibu.

Anakmu,

John

###

"Itu surat 5 tahun lalu. Tak pernah kukirimkan. Aku tak ingat persis kenapa tak jadi kukirimkan."

"Lalu kenapa kau tak kuliah?"

"Karena aku di sini sekarang. Harusnya aku kuliah seperti yang kujanjikan pada ibuku. Tapi kau tahu, pada banyak kondisi, hidup keras yang menimpa membuat kita kadang harus berkompromi untuk menyederhanakan jalan dan persoalan hidup yang panjang dan rumit," aku menggigit bibirku dan meliriknya yang sepenuhnya menyimak ke dalam mataku. Sebelumnya, aku tak pernah mendapati sorot mata tamuku yang sepeduli itu.

"Kalau kita tak sanggup melalui prosesnya secara utuh, sementara satu-satunya orang paling kita sayangi diam-diam menunggu janji kita, itu apa rasanya?" Aku menghela panjang. Dadaku terasa berat.

"Aku ingin membahagiakan ibuku. Itu saja. Tanpa peduli bahwa sebagian proses yang wajar dan rumit itu aku putus. Aku hanya ingin membahagiakan Ibu, seperti janjiku," aku menggeleng. Tentu mengatakan itu tak semudah yang dipikirkan. Lelaki di hadapanku tertunduk. Dapat kudengar embus nafasnya yang mendesau lembut dari sini.

"Ibumu tahu apa yang kau kerjakan?"

"Ibuku tahu aku kuliah sambil bekerja. Kukira aku sangat berhasil. Aku bisa mengirimkan Ibu sejuta hingga dua juta setiap bulan, bahkan dapat mengirim dua hingga tiga kali lipat dari itu, tapi tentu itu akan membuat curiga."

"Saya berempati padamu dan bersimpati pada ibumu. Tidakkah kau berpikir sedang merakit bom waktu. Sampai kapan kau membahagiakan ibumu dengan cara yang semu?"

Aku tertunduk. Mendadak semua perasaan bersalah, intrik, dan kebohongan, menelisik menyamar angin, masuk ke dalam ruangan dan menerjang diriku. Tapi aku berdeging, mengeraskan diri.

JOHN untuk AJ [Slow Update]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang