Aku mengantar Rafi ke kamarku. Kamar kami sebenarnya. Tapi mengingat kamar ini kukuasai sendiri jadi lebih suka kusebut kamarku. Mau bagaimana lagi? Ibunya Rafi ikut mengantar. Bisa-bisa beliau shock jika tahu kalau sebenarnya kami tak sekamar. Rafi selalu tidur di kamar lain, kecuali bila keluarga kami ada yang berkunjung. Kulihat Rafi masih memperhatikan sekeliling ruangan, kemudian dia duduk di tepi ranjang. Tangannya bergerak ke meja kecil di sudut, mengambil sebuah foto. Foto pernikahan kami. Kulihat dia memandangnya lama sekali tanpa berkedip.
"Raf, kita makan dulu. Mama udah nunggu." ajakku.
Rafi meletakkan kembali foto itu dan mengikutiku keluar kamar. Rafi yang biasanya paling ribut untuk urusan makan, kini diam saja saat aku mengambilkan nasi dan lauk untuknya. Diapun tampak anteng saja menyantap makanannya. Namun sempat kulihat mendung di wajah lelaki itu saat aku meliriknya sekilas.
"Rasanya nggak enak kalau nggak ingat siapa diri sendiri." gumamnya saat aku membawakan obatnya malam itu.
Aku meletakkan gelas di meja sudut lalu duduk menemaninya di ranjang.
"Pelan-pelan aja. Kata dokter jangan dipaksain, nanti kepalamu tambah sakit." ujarku.
Aku kini harus terbiasa bersikap lunak padanya mengingat kata dokter kalau Rafi tak boleh mengalami tekanan sedikitpun.
"Lebih nggak enak lagi kalau nggak bisa ingat orang yang kusayangi." Rafi meraih jemariku. Aku terkejut namun kudiamkan saja. Lagi-lagi aku ingat pesan dokter agar Rafi tak boleh tertekan.
"Kamu pasti tersiksa melihatku nggak bisa mengingatmu." lanjutnya.
Aku yang tak tahu harus bilang apa hanya tersenyum saja.
"Maafkan aku, Intan..." tiba-tiba Rafi mengecup jemariku.
Aku yang kaget tanpa sadar menarik tanganku dari genggamannya. Rafi terkejut menatapku. Aku bingung bagaimana menjelaskannya. Tanpa pikir panjang kuraih tangan Rafi.
"Percayalah, kamu pasti akan mengingat semuanya lagi."
Rafi tersenyum, lalu bergerak memelukku. Kali ini aku lebih siap sehingga tak spontan mendorong tubuhnya. Pelan-pelan kulepas pelukan Rafi.
"Kamu istirahat dulu ya." kataku mencari-cari alasan agar ia melepaskanku.
"Mau ke mana?" tanyanya saat melihatku bangkit.
"Tidur." jawabku pendek tanpa kusadari ucapanku. Sedetik kemudian aku tersentak saat melihat wajah Rafi yang berubah aneh. Aku mencoba tersenyum dan kembali duduk di sisinya.
"Ada yang perlu kamu tau, Raf." ucapku hati-hati. Aku tak ingin membuatnya shock. Tapi kalau tak kukatakan, bagaimana denganku? Akankah dia bisa menerima penjelasanku?
"Apa...apa kamu nggak tidur di sini..?" Rafi menatap penuh tanya padaku.
Aku menarik napas. Rafi rupanya telah membaca maksudku. Saat aku tak juga menjawab, dia justru menunduk dengan wajah murung.
"Kenapa, Intan? Apa kamu nggak mencintaiku? Apa kamu nggak menginginkan pernikahan kita?"
"Bukan begitu, Raf..." selaku.
Rafi masih terdiam.
"Kita saling mencintai kok!"
Ah, akhirnya dusta yang paling tidak kuinginkan keluar dari mulutku. Kulihat Rafi masih enggan percaya. Aku tahu dia butuh alasan yang kuat.
"Hanya saja...aku belum siap untuk...."
Bagaimana menjelaskannya agar dia mau mengerti? Tanganku mencoba bergerak-gerak.
"...aku belum siap...."
"Berhubungan intim..?" tanyanya.
"Ya!" jawabku cepat.
Aku tak heran melihat wajah anehnya. Suami istri yang saling mencintai tidak siap berhubungan intim? Yang benar saja! Mana ada yang seperti itu?
"Kamu sangat pengertian, Raf.. Kamu memberiku waktu, kamu sangat menghormatiku. Bahkan kamu rela tidur di kamar lain..." aku tak meneruskan ucapanku saat kurasakan Rafi menggenggam sebelah tanganku.
"Aku bisa mengerti." ucapnya tersenyum. "Aku akan tidur di kamar sebelah." diapun segera bangkit.
"Raf..." cegahku.
"Nggak apa-apa, Intan. Selamat tidur ya." ucapnya membelai kepalaku sebelum melangkah keluar kamar.
Aku menarik napas lega. Untunglah Rafi bisa mengerti. Entah kenapa aku merasa Rafi begitu berbeda dengan Rafi yang dulu. Ah, hampir aku lupa! Lelaki itu memang bukan Rafi. Dia tak ingat dirinya yang dulu. Tapi kurasa Rafi yang ini jauh lebih baik dari Rafi yang kukenal selama ini.
**
KAMU SEDANG MEMBACA
SAAT KAMU BUKAN DIRIMU
Romance"Aku nggak mau tidur denganmu!" seruku saat laki-laki itu naik ke ranjangku. "Kamu mau menolak suamimu?" sahutnya santai sambil menyandarkan dirinya di kepala ranjang.