"Geser kanan dikit, Raf..." aku memberi aba-aba saat Rafi mendorong lemari bukunya.
"Bantuin, sayang.. Berat!" Rafi meringis.
Aku mencoba membantunya. Tapi tiba-tiba buku-buku di rak paling atas jatuh. Aku mendorong Rafi agar buku-buku yang tebalnya minta ampun itu tak mengenainya. Malangnya, aku justru ikut terjatuh dan menimpa tubuhnya. Kurasakan kepalaku terbentur meja. Sakit! Kupegang kepalaku, mungkin benjol. Pusing sekali rasanya. Aku mencoba bangkit dari tubuh Rafi dan bergeser ke samping. Kulihat Rafi. Matanya terpejam.
"Raf..." panggilku.
Dia tak bereaksi. Oh, jangan-jangan pingsan!
"Rafi..? Bangun, Raf..." aku berusaha mengguncang tubuhnya.
Rafi tetap tak bereaksi. Aku panik. Kuguncang tubuhnya lebih keras lagi.
"Rafi!!!" teriakku.
Tubuh Rafi bergerak perlahan. Tangannya terlihat refleks memegang kepalanya. Ekspresi wajahnya tampak menahan sakit. Jangan-jangan dia tadi juga terbentur sesuatu. Aku membantunya bangun agar bisa duduk. Kupegang lengannya. Rafi menatap sekelilingnya. Aku memandang khawatir. Rafi kemudian menatapku, mengernyitkan dahi.
"Kenapa melihatku begitu?" tanyanya.
"Kamu nggak apa-apa, Raf? Kepalamu terbentur? Raf, maaf aku nggak sengaja..." tanyaku panik.
"Bicara apa sih? Bantu aku berdiri.."
Aku pun membantunya berdiri. Rafi menatapku aneh, lalu kembali menatap sekelilingnya.
"Kenapa rumahku jadi berantakan begini?!" serunya dengan mata melotot.
"Kita kan lagi bersih-bersih, Raf. Kita mau ganti interior rumah..." jawabku heran. Ada apa dengannya?
"Siapa suruh ganti?! Beresin sekarang!"
Aku menatap mata Rafi. Tak kutemukan keteduhan seperti biasanya. Aku menutup mulutku. Jangan-jangan Rafi yang dulu telah kembali...
"Kamu ini kenapa sih?" tanyanya heran.
"Kamu nggak ingat kita lagi bersih-bersih?" tanyaku.
Rafi menggeleng heran.
"Kamu nggak ingat ini ide kamu?" aku bertanya lagi.
"Aku?" Rafi justru balik bertanya.
Aku tersentak. Ketakutanku kini beralasan. Kurasa Rafi memang telah kembali.
"Kamu ingat ini tanggal berapa, Raf?"
Rafi mengernyitkan dahi.
"Memangnya tanggal berapa? Kenapa sih kamu tanya hal nggak penting begitu?"
"Ini tanggal 25 Januari. Dua ribu empat belas." desisku.
Rafi terkejut. Lalu menggeleng keras.
"Nggak mungkin! Ini baru bulan...Oktober..." Rafi menatapku.
"Kamu nggak ingat kecelakaan itu?"
"Kecelakaan?"
Rafi tampak bingung. Kulihat dia terdiam seperti mengingat sesuatu. Tiba-tiba dia memegang keningnya.
"Raf..?" tanyaku khawatir.
Rafi kembali menatapku. "Aku kecelakaan kan?"
Aku mengangguk. "Tiga bulan lalu."
"Tiga bulan??"
Aku kembali mengangguk.
"Kenapa aku bisa nggak tau? Kenapa aku bisa nggak ingat apa-apa, Tan?" Rafi mengguncangku.
"Kamu amnesia, Raf... Tiga bulan ini kamu amnesia... Kamu nggak ingat kan apa yang sudah terjadi selama tiga bulan ini..?"
Rafi mengangguk. Dia masih kelihatan shock. Dan aku... entah bagaimana menjelaskan perasaanku. Rafi tak ingat lagi apa yang telah kami alami tiga bulan ini. Rafi tak ingat lagi kata cinta yang sering terucap untukku. Rafi takkan mengingatku lagi dalam tidurnya. Oh! Haruskah kebahagiaan yang baru bersemi ini lenyap? Haruskah kuterima kenyataan aku kehilangan Rafi yang mencintaiku? Tanpa terasa air mata telah menggenang di pelupuk mataku.
"Kamu kenapa?" tanya Rafi menatapku heran.
Aku mencoba tersenyum.
"Nggak apa-apa. Syukurlah kamu sudah sembuh, Raf. Mama pasti senang sekali. Biar aku telepon Mama ya." aku langsung bangkit untuk mengambil ponselku. Tak lupa kuseka air mata yang kini telah menetes di wajahku.
Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan?
**
KAMU SEDANG MEMBACA
SAAT KAMU BUKAN DIRIMU
Romansa"Aku nggak mau tidur denganmu!" seruku saat laki-laki itu naik ke ranjangku. "Kamu mau menolak suamimu?" sahutnya santai sambil menyandarkan dirinya di kepala ranjang.