Aku terbangun saat merasakan ada yang membelai rambutku. Rafi! Kulihat senyumnya mengembang. Aku langsung memeluknya. Benar-benar mimpi yang indah. Terima kasih, Tuhan... Engkau mengijinkanku memeluk Rafi walau hanya dalam mimpi.
"Maafkan aku, Intan..."
"Nggak, Raf. Jangan minta maaf. Kamu nggak salah.. Aku senang Tuhan mengabulkan keinginanku agar kita bisa bertemu dalam mimpi..." aku semakin mendekapnya.
"Intan, ini bukan mimpi.."
Aku terkejut dan langsung melepaskan pelukan Rafi. Kutatap sosok di hadapanku. Kukerjap-kerjapkan mataku.
Rafi tertawa kecil.
"Sudahlah.. Ini sungguhan, bukan mimpi."
"Aaah!" aku menjerit saat Rafi menarik hidungku. Sakit! Ya Tuhan.. Benar-benar bukan mimpi..
"Bukan mimpi kan?"
"Iya..." wajahku memerah. Ah, bagaimana ini? Kenapa tadi aku langsung memeluknya?
"Aku percaya padamu." ucap Rafi.
"Maksudmu?" tanyaku tak mengerti.
Tangan Rafi bergerak menyentuh perutku. Mengelusnya perlahan.
"Aku tau kamu nggak mungkin membohongiku... Aku berusaha mengingatnya, Intan. Mengingat tiga bulan yang sempat hilang dalam hidupku. Walau tak bisa semuanya, tapi aku cukup berhasil mengingat kejadian malam itu."
"Kamu ingat, Raf?" tanyaku seolah tak percaya.
Rafi mengangguk. "Dimulai dari aku yang nggak bisa tidur lalu memintamu agar memperbolehkanku tidur bersamamu.. Iya kan?"
Aku tersenyum dengan mata berkaca-kaca. "Terima kasih kamu mau mengingatnya."
"Kamu bisa saja menolakku, Intan. Kenapa kamu mau melakukannya? Kamu kan tidak mencintaiku... Atau aku memaksamu?" kulihat Rafi yang gelisah. Mungkin ia mencoba mengingatnya lagi.
"Itu nggak benar..." ucapku.
"Kamu nggak ingat bagaimana kamu mengajariku mencintaimu?"
Rafi mengelus rambutku, lalu mendekat dan mengecup keningku perlahan. "Tentu aku ingat, sayang. I love you. Bukankah kalimat itu pernah kuucapkan?"
Aku menjatuhkan diri di pelukan Rafi.
"Maaf, aku telah menyakitimu kemarin.."
Aku mengangguk. "Raf, apa kamu kembali menjadi Rafi yang mencintaiku?" tanyaku lirih.
Rafi mendesah. Kurasakan hembusan napasnya menerpa wajahku.
"Mungkin kamu nggak tau, Intan... Aku mencintaimu sejak dulu. Sebelum kita menikah. Sebelum kamu membuka hati untukku, aku sudah mencintaimu."
Aku terperanjat. "Rafi..?" tanyaku menatapnya.
Rafi mengangguk.
"Dan satu hal lagi. Aku nggak sungguh-sungguh melarangmu kuliah. Aku hanya ingin melihat pemberontakanmu. Aku senang melihat amarah di matamu. Aku tak ingin melihatmu pasrah karena keterpaksaanmu menjalani pernikahan ini. Maafkan semua sikap kasarku, Intan.. Sekarang gapailah impianmu, kamu berhak."
Aku kembali mendekap Rafi. Aku baru sadar aku telah mengenal Rafi seutuhnya. Dia lebih baik dari yang pernah kukira.
"Raf, kamu tau kenapa masakanku sekarang jadi enak?" pancingku.
"Belajar dari ibumu kan?"
Aku tersenyum. "Belajar dari suamiku. Dia begitu telaten mengajariku memasak.."
"Apa??" wajah Rafi terlihat memerah. Sudah kuduga dia tak ingat hal itu.
"Mana mungkin?! Aku nggak pernah menyentuh dapur. Itu kan urusan perempuan..."
Aku mencibirnya. "Mau pura-pura?! Selama tiga bulan ini, aku sudah tau apa yang tak pernah kuketahui tentang dirimu."
"Apalagi?" tanyanya cemas.
"Selain kamu sangat manja....." sengaja tak kuteruskan ucapanku. Kulihat mata Rafi yang melotot. Aku hanya mengerling manja padanya tanpa menjawab lagi.
Kembali kurebahkan diriku di pelukan Rafi. Kugenggam erat tangannya dan kubimbing untuk mengelus perutku perlahan. Buah cinta kami yang sedang tumbuh. Kurasakan kecupan yang mendalam di puncak kepalaku.
Tahukah apa rasa hatiku saat ini? Lebih dari sekedar bahagia. []
***End
KAMU SEDANG MEMBACA
SAAT KAMU BUKAN DIRIMU
Romance"Aku nggak mau tidur denganmu!" seruku saat laki-laki itu naik ke ranjangku. "Kamu mau menolak suamimu?" sahutnya santai sambil menyandarkan dirinya di kepala ranjang.