4] Cute, Huh?

3.9K 571 30
                                    

Menunggunya hampir setiap hari itu melatih kesabaran. Berbicara dengannya pun melatih kesabaran. Dan apapun tentangnya itu adalah melatih kesabaran. Mencintainya mungkin dapat membuatku jadi orang paling peyabar di dunia. Sekali pun dia membuatku kesal, aku akan tetap sabar. Entahlah, aku merasa terlalu peduli kepadanya.

Mungkin baginya aku sangat menyebalkan. Tapi dia tidak tahu apapun yang kuperbuat untuknya adalah karena aku sayang. Andai dia tahu betapa aku menyukainya, mungkin dia semakin membenciku. Entahlah, rasanya sangat sulit untuk sekedar membuatnya melihatku yang sering tak nampak di matanya. Dan untuk membuatnya jatuh cinta kepadaku rasanya seperti tidak mungkin. Meskipun begitu, niatku untuk berhenti mengejarnya pun tak ada.

"Lo nggak pulang?" tanyaku kepadanya untuk sekian kalinya.

Irla masih terdiam sambil memainkan game di hapenya. Aku menghembuskan napas lelah. Apa aku sebegitu menyebalkannya sampai dia malas menanggapi ucapanku?

"Lo ngapain di sini? Balik gih sono," ucapnya tanpa mengalihkan pandangannya dari hape yang ia pegang.

"Males, di rumah sepi."

"Ke pasar malam aja sana kalau mau rame."

"Lo mau?" tanyaku padanya.

"Mau apa?" tanyanya bingung seraya menoleh ke arahku.

"Ke pasar malam. Mau?"

Dia kembali mengabaikan pertanyaanku dan sibuk kembali dengan hapenya. Aku tersenyum kecil melihatnya. Harusnya aku kesal kan, tapi entah mengapa aku tidak bisa.

Kupandangi jalan raya di hadapanku. Semakin sore, jalanan semakin ramai oleh kendaraan yang lewat. Ini pun jam pulang kerja. Pasti macet sekali.

"Ayok," ucap Irla tiba-tiba seraya berdiri dari posisi duduknya. Aku memandangnya bingung.

"Ke pasar malam kan? Ayok," ucapnya lagi seraya memasukan hape ke dalam saku celananya.

Dia mau kuajak ke pasar malam? Serius? Entah mengapa hal ini membuatku tersenyum karena bahagia.

"Nggak usah pake senyum, menjijikan," katanya yang membuatku berdecak sebal.

Kemudian aku berdiri dari posisi dudukku dan berjalan menuju ke arah mobilku berada. Irla mengikutiku dan setelahnya dia duduk di kursi penumpang.

Di dalam mobil, Irla hanya diam dan menyenderkan kepalanya di kaca jendela. Sepertinya dia sedang ada masalah. Bahkan sekarang ia tak memainkan game di hapenya. Rasanya sangat ganjal melihatnya seperti ini.

"Kenapa?" tanyaku kepadanya. Ia menoleh ke arahku dengan malas dan kemudian kembali menyenderkan kepalanya tanpa menjawab pertanyaanku.

Sebenarnya aku merasa serba salah. Jika aku banyak bertanya, dia pasti menganggapku cerewet. Jika aku banyak menasihati, dia pasti menganggapku lebay. Dan sekarang ketika melihatnya galau, aku jadi bingung harus bagaimana. Jika aku diam, takutnya dibilang cuek dan songong. Peduli sama orang itu ternyata membingungkan.

"Peduli sama orang itu menyebalkan," ucapnya tiba-tiba. Aku menoleh ke arahnya. Ia masih saja menampakan wajah galau dan memandang malas ke arah jalan yang berada di hadapan kami.

"Iya, menyebalkan," balasku.

"Tapi jika nggak peduli, rasanya kayak mau mati."

"Lo jatuh cinta sama seseorang?" tanyaku padanya.

Sejujurnya pertanyaan itu cukup membuat perasaanku tak karuan. Bagaimana jika memang dia mencintai orang lain? Tapi, tanpa dia menjawab pun, aku tahu bahwa ternyata ada orang lain yang ia cintai. Dan hal yang paling menyakitkan adalah orang tersebut bukan aku. Sekarang, aku semakin merasa tak akan pernah mendapatkannya.

[3] Demi CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang