Sejak bazar waktu itu, aku mulai jarang menemui Irla. Bukan hanya jarang, tapi memang sudah tidak pernah menemuinya. Bagaimana bisa aku menemuinya jika yang ia tunggu adalah Gio. Ya, semenjak malam itu di tempat bazar, mereka berdua terlihat sangat dekat. Bahkan Irla lebih banyak tertawa jika bersama Gio. Aku rasa, aku sudah kalah.
Pernah beberapa kali aku coba menunggunya di tempat les seperti biasa. Tapi di sana, kudapati Gio juga tengah menunggu Irla. Aku tak mungkin membuat Irla kebingungan dengan keberadaan kami berdua di tempat yang sama dengan tujuan yang sama pula. Alhasil, aku hanya bisa duduk di tempat yang tak bisa ia lihat.
"Hei, kata adik gue, lo ngilang kayak ditelen bumi. Ke mana aja lo?" tanya Pia yang tiba-tiba datang dan duduk di sebelahku.
Aku terdiam tak menjawab ucapan Pia. Bagaimana aku bisa mengatakan bahwa aku mundur untuk kebaikan Irla. Maksudku, Pia pasti berpikir aku tidak serius akan perasaanku terhadap adiknya. Tapi sesungguhnya aku benar-benar serius. Hanya saja, jika kebahagiaan Irla bukan denganku ya bagaimana lagi.
"Nggak mendadak tuli, kan?" tanyanya lagi ketika aku tak kunjung menjawab pertanyaannya. "Atau jangan-jangan gagu?"
"Apa'an sih, Pi. Pergi deh, sana. Gue lagi males."
"Oh, apa ini gara-gara Gio?"
Dengan cepat aku menoleh ke arahnya. Bagaimana dia tahu soal Gio? Apa jangan-jangan Irla bercerita soal Gio kepada Pia?
"Kemarin cowok bernama Gio itu main ke rumah. Irla bilang, Gio temennya. Tapi gue lihat, hubugan mereka bakalan lebih dari sekedar temen kalau lo males-malesan begini." Pia memandangku galak yang membuatku mendengus kesal. "Lo mau nyerah buat dapetin adek gue? Yang bener aja!"
Pia benar-benar nggak ngerti rasanya putus asa. Ketika sebuah peluang yang dulu terbuka lebar kini sudah perlahan menutup, kesempatan pun mulai hilang. Begitu juga peluang untuk mendapatkan Irla. Sekarang tak ada lagi yang bisa kuperbuat untuk mendapatkannya. Hatinya untuk orang lain. Dan apapun yang kulakukan, tak akan pernah bisa merubah perasaannya.
"Irla suka sama Gio. Gio pun juga suka sama Irla. Udah. Tamat," ucapku memandangnya malas.
Pia memandangku dengan kesal. Bahkan kalau boleh bilang, sepertinya kepalanya mulai berasap karena saking kesalnya. "Mulai aja belum udah main tamat aja," katanya memarahiku. "Usaha lo bakalan sia-sia kalau lo berhenti sekarang."
"Mau berhenti kapan pun juga akhirnya sia-sia, Pia. Dari awal memang nggak ada kesempatan buat gue dapetin Irla."
"Lando teman gue yang miskin ekpresi, dengerin gue baik-baik. Gue bisa lihat seberapa kadar suka seseorang dari sorot matanya. Dan ketika gue lihat lo, gue tahu bahwa lo benar-benar suka sama Irla." Pia menatapku tajam yang membuatku tak berani berkedip. "Gio? Dia hanya seorang cowok yang baik hati, murah senyum, ramah—"
"Lo muji dia," potongku sebelum Pia menyelesaikan ucapannya.
Maksud Pia apa, sih? Dia mau ngasih semangat tapi mujinya Gio, bukan aku. Jadi semakin sadar kan, betapa jauhnya perbedaanku dengan Gio. Sampai kapan pun juga aku tak akan pernah menjadi cowok baik hati dan segala macamnya seperti Gio.
"Dan cirri-ciri cowok PHP banget. Gue belum selesai ngomong." Pia berdecak sebal. "Cowok macam Gio itu, baik ke semua orang, bukan cuma Irla. Jadi intinya, meskipun dia baik dan sebagainya, bukan berarti dia cinta. Ngerti maksud gue?"
"Ya terus? Adik lo suka sama dia, Pi."
"Ya udah, meskipun dia suka sama Gio, bukan berarti lo harus berhenti buat dapetin Irla, Do."
"Astaga, Pia. Bagian mana sih, yang belum lo ngerti? Dia nggak suka sama gue, dia suka sama Gio. Nggak ada harapan lagi buat gue!"
Setelah mengucapkan hal tersebut, aku langsung berdiri dari posisi dudukku dan berniat untuk pergi meninggalkan Pia. Pia hanya memperburuk perasaanku. Aku tidak suka menyerah, tapi berjuang pun percurma.
"Oke silahkan berhenti, tapi paling nggak biarin Irla tau gimana perasaan lo. Lo berhak suka sama orang. Dan orang itu juga berhak tau gimana perasaan lo."
Aku memandang Pia sejenak dan setelahnya pergi meninggalkannya. Aku tidak bisa berpikir jernih dengan tekanan yang Pia berikan. Dia benar-benar menyebalkan.
***
Untuk waktu yang sangat lama, kata-kata Pia terngiang-ngiang di pikiranku. Apa harus aku mengatakan kepada Irla bagaimana perasaanku terhadapnya? Tapi bagimana jika dia malah membenciku? Apakah ungkapan perasaanku dapat merubah keadaan? Aku rasa tidak.
Jika aku mengatakan aku mencintainya, aku yakin dia akan menertawaiku. Setelah puas menertawaiku, dia akan membenciku. Dia akan menjauh dan tak akan sudi bertemu denganku. Dia pasti menganggapku psikopat dan semacamnya. Bagaimanapun, dia itu Irla. Dia selalu menganggapku yang tidak-tidak.
Sejujurnya, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Mendapatkannya tak kusangka akan sesulit ini. Aku tahu jika akan sulit, tapi tak seperti ini. Aku tak pernah menyangka jika akan ada Gio diantara kami. Dan dia lebih segalanya daripada diriku, menyebalkan.
Kuperhatikan bangunan di hadapanku. Sekarang aku berada di depan tempat Irla les. Aku hanya bisa mengamati orang-orang yang berlalu lalang di sini dan menunggu kemunculan Irla dari balik pintu gedung di hadapanku.
Aku rindu menunggunya seperti ini. Dan mungkin, ini akan menjadi kali terakhir aku menunggunya seperti ini. Karena seperti yang aku bilang, aku akan berhenti.
Kini kulihat Irla keluar dari arah pintu. Melihatnya seperti ini membuat jantungku berdegup hebat. Ada rasa rindu yang terselip di setiap detakannya. Rasanya aku benar-benar merindukannya.
Pandangan Irla mengarah ke arahku. Kini kakinya berjalan perlahan medekat kepadaku. "Lo muncul. Gue kira lo udah pensiun dari nungguin gue nggak jelas," ucapnya yang membuatku tersenyum kecil. "Ke mana aja lo?"
"Gue mau ngomong sesuatu sama lo."
"Ngomong apa?" tanyanya terlihat bingung.
Sepertinya tak akan ada bedanya jika dia tahu atau tidak mengenai perasaanku terhadapnya. Jadi, tidak jadi masalah juga jika aku mengatakannya. Paling nggak, aku akan sedikit lega. Ya, semoga.
"Apapun yang gue lakukan kemarin-kemarin, bukan nggak ada tujuannya. Nungguin lo, ngajakin lo ngomong, dengerin ocehan lo, nemenin lo balik, apapun itu, gue lakukan karena satu hal, Ir. Gue suka sama lo. Gue ngelakuin semua itu karena gue suka sama lo, gue cinta." Aku memandangnya dengan yakin. "Suka sama lo itu nggak mudah. Gue ngelakuin banyak hal yang nggak pernah gue lakuin sebelumnya cuman buat lo nyadar akan keberadaan gue. Tapi lo nggak pernah peka. Dan sekarang, mungkin udah saatnya gue ngomong gimana perasaan gue ke elo. Gue cinta sama lo."
Kulihat Irla memandangku dengan tatapan kaget. Ia seperti tak mempercayai bahwa aku mengatakan hal tersebut. Tapi ya, aku mengatakannya. Dan ini benar-benar membuatku lega.
Dia terdiam cukup lama yang membuatku kebingungan sendiri. Aku tak tahu apa yang sedang ia pikirkan. Dan aku pun tak berharap ia menanggapi ucapanku. Aku hanya ingin mengatakan perasaanku kepadanya.
"Gue datang ke sini cuman mau ngomong itu. Gue cinta sama lo," ucapku lagi. "Emm ... bye."
Dengan begitu, aku pergi meninggalkannya.
Yang terpenting, dia sudah tahu bahwa aku mencintinya. Apapun yang ia pikirkan tentangku, aku tak peduli karena aku mencintainya.
======++++=====
Halohaaa, udah mau ending aja wkwkwk
Mungkin masih nyisa satu atau dua part lagi, jadi ya sebentar lagi kelar yey! hahaha