Aku tak pernah membayangkan akhir yang seperti ini. Menyerah untuk mendapatkan Irla sama sekali tak pernah terpikirkan olehku. Tapi nyatanya, hal itulah yang kulakukan.
"Lo bilang gitu doang sama Irla?" tanya Pia terlihat tak percaya.
"Lo kan yang nyaranin buat ngungkapin perasaan gue ke Irla."
"Tapi lo cuma ngomong kayak gitu doang?"
Aku mengangguk tanpa berkata apa-apa lagi. Sebenarnya aku tak ingin menceritakan kejadian waktu itu kepada Pia. Tapi berhubung dia berisik banget, jadi ya begitulah.
"Kok doang sih, Pi? Itu udah bagus banget kali. Tulus gitu."
Itu suara Amoi.
"Tapi harusnya pakai sesuatu yang bikin cewek melayang-layang. Bunga kek, lagu kek, puisi kek. Masak cuma ngomong gitu doang. Nggak spesial tau. Udah gitu lo main kabur aja," ucap Pia.
"Percuma kali bawain bunga, nyanyiin lagu, tapi nggak nembak-nembak," kata Amoi terdengar menyindir seseorang.
"Astaga Moi, nggak gitu."
Dan itu suara Virgo. Aku bahkan tidak tahu apa yang mereka lakukan di sini?
"Mampus lo," ledek Pia kepada Virgo. Pia kini sudah menampilkan wajah bahagia karena melihat Virgo sudah kebingungan.
Astaga, mereka membuatku pusing.
Segera aku berdiri dan berniat pergi dari sini. Ini sudah jam pulang sekolah sebenarnya. Tapi berhubung pikiranku sedikit kacau karena Irla, jadilah aku di taman sekolah merenung dan meratapi nasib. Sampai akhirnya mereka bertiga datang dan merusak renunganku. Harusnya galau, ini malah pusing.
"Heh, mau ke mana lo?" tanya Pia yang ternyata mengikutiku.
"Balik." Aku masih berjalan tanpa menunggunya. Aku benar-benar tak ingin mendengar ocehan ataupun nasihat apa pun darinya.
"Tunggu," ucapnya seraya menarik lenganku yang membuatku berhenti. Aku berbalik dan melihatnya dengan tatapan malas.
"Gue yakin kok, usaha lo selama ini nggak bakalan sia-sia. Lo jangan sedih gitu, nggak enak lihatnya." Pia memandangku prihatin yang membuatku menghembuskan napas kasar.
"Gue nggak apa-apa, Pia. Gue juga nggak ngarepin apa-apa kok."
"Jujur sih, gue ngerasa nggak enak. Irla adik gue, lo temen gue. Terus hubungan kalian jadi nggak jelas," ucapnya terlihat bingung. "Harusnya Irla jawab pernyataan cinta lo."
Aku tertawa kecil melihat Pia yang terlihat bingung. Dia terlihat aneh.
"Kok ketawa?"
"Lo aneh. Sejak kapan lo jadi pedulian gini?" cibirku masih tertawa kecil.
"Orang peduli malah dibilang aneh. Lo yang aneh."
"Udah deh, Pi. Gue beneran nggak apa-apa. Gue nggak marah sama lo atau sama Irla. Paling nggak dia udah tau perasaan gue. Itu udah cukup."
"Yaahhh, lo kok baik banget. Beneran mau nyerah? Berjuang lagi deh, sayang tau masak akhirnya kayak gini," ucapnya terlihat sedih.
Kenapa malah Pia yang terlihat sedih?
"Mungkin lo harus bawa bunga sambil nyanyiin lagu, mainin gitar. Bilang sekali lagi kalau lo suka sama dia." Pia kembali menyakinkanku.
"Gue yakin kalau Irla denger apa yang gue omongin, jadi nggak perlu juga gue ngomong lagi," kataku bingung.
"Tapi gue gemes masak kayak gini jadinya!" ucap Pia terdengar kesal. "Lando, masak kayak gini doang."
"Kok jadi lo yang kesal." Aku memandang Pia bingung.
