5] Saingan

3.8K 520 43
                                    

Semenjak obrolanku dengan Irla waktu itu, kini kami semakin dekat. Bahkan Irla tak lagi mengabaikanku. Dia selalu menanggapi ucapanku. Ya meskipun tak jarang ia menanggapinya dengan nada kesal—seperti biasa—tapi paling tidak, sekarang ia menganggapku ada, bukan hanya angin lalu.

Seperti biasanya, aku masih setia menunggunya pulang les. Entah kenapa, sampai sekarang aku tak merasa bosan untuk menunggunya seperti ini. Meskipun nanti aku hanya mendapatkan omelannya saja, aku cukup merasa senang. Entahlah, aku senang melihat ekspresi kesalnya. Dia terlihat lucu dan menggemaskan.

"Hai," sapaku sambil tersenyum ketika mendapati Irla tengah berjalan ke arahku dengan wajah kesalnya.

"Nggak usah pake senyum. Menjijikan," cibirnya yang membuatku berdecak sebal. Dia masih tak mau menerima fakta bahwa aku bisa tersenyum.

Kemudian Irla melewatiku begitu saja. Sudah biasa.

Kini aku berjalan mengikutinya. Ia masih setia dengan hape yang berada di tangannya. Apa sih, sekiranya yang dapat mengalihkan perhatiannya dari hape dan game-nya tersebut?

"Kenapa sih, lo hobi banget ngikutin gue?" tanyanya tanpa mengalihkan pandangannya dari hape di tangannya.

Dan bagiku itu adalah kode untukku berjalan bersisihan dengannya. Ya, selama dia belum mengajakku ngobrol, aku tak akan berani berjalan di sebelahnya. Entahlah, aku hanya takut jika aku terlalu memaksanya untuk menyadari keberadaanku, nanti dia malah semakin menjauh dan benci kepadaku.

"Nggak ada kerjaan," jawabku sambil menoleh ke arahnya.

"Di rumah gue lagi butuhin pembantu, mau daftar?" cibirnya yang membuatku terkekeh.

Dia selalu jutek, nggak pernah enggak. Tapi juteknya dia lucu. Dan bagiku, dia malah semakin menggemaskan.

"Nggak ah. Kalau lo butuhin bodyguard, baru gue mau daftar," ucapku yang membuatnya menoleh ke arahku dengan kening berkerut.

"Lo kira gue anak presiden pake bodyguard segala."

"Ya kan kali aja lo butuh."

"Gue butuhnya pacar idaman, bukan bodyguard gaduangan kayak lo," cibirnya lagi.

"Gue juga bisa jadi pacar idaman kalau lo mau." Dan hal ini malah membuatnya tertawa terbahak-bahak. Kenapa malah tertawa? Kan aku lagi serius.

"Ternyata benar kata Kakak gue. Lo itu lucu banget," ucapnya masih tertawa.

"Apanya yang lucu?"

"Kalau lo nyadar nih, ya, semua ucapan lo itu sebenernya lucu banget. Apalagi ekspresi lo. Sumpah, gokil."

Dan aku masih tidak mengerti bagian mananya yang lucu. Terus kenapa ekspresiku dibawa-bawa? Aku tahu Pia dan Irla menganggap ekspresiku salah—eskpresi apapun yang kupunya—tapi aku masih tidak mengerti salahnya di mana. Ada yang bisa menjelaskan?

"Yaelah, cemberut gitu. Nggak usah ngambek, deh. Lo ngambek pun ekspresi lo masih sama, datar nggak jelas."

Kini aku berdecak sebal mendengar perkataannya. Memangnya ekspresiku seperti apa, sih? Kenapa semua orang berkata kalau ekspresiku datar. Aku merasa ekspresiku biasa aja. Tidak datar atau pun terlalu ekspresif.

"Kayaknya lo harus kursus ekspresi wajah, deh," ucapnya seraya menepuk pundakku.

"Memangnya ada kursus seperti itu?"

"Kalau ada emang lo mau daftar?"

Aku hanya mengangkat kedua bahuku menjawabi pertanyaannya. Dan hal ini kembali membuatnya tertawa terbahak-bahak. Sejujurnya, aku belum pernah melihat Irla yang penuh tawa seperti ini. Ia terlihat sangat bahagia. Aku menyukainya.

[3] Demi CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang