Kembali kulirik jam yang berada di tangan kiriku. Harusnya dia sudah keluar dari gedung ini, tapi sampai sekarang dia masih tak nampak. Apa dia tidak masuk hari ini? Tapi seingatku, dia bukan tukang bolos.
Kembali kutengok ke arah pintu keluar gedung yang berada di hadapanku. Aku masih setia menunggunya muncul di hadapanku dengan hape yang tak akan pernah lepas dari tangannya. Menunggunya seperti ini sudah menjadi kebiasaanku belakangan ini. Selama apapun aku akan menunggunya. Aku tak keberatan.
Terkadang aku berpikir kenapa harus Irla, kenapa bukan orang lain? Dan sampai sekarang pun aku masih belum menemukan jawaban atas pertanyaanku tersebut. Yang pasti, sejauh ini, hanya dia yang mampu membuatku penasaran.
Entahlah, Irla terlihat begitu tidak peduli dengan sekitarnya. Terkadang hal ini membuatku bertanya-tanya dunia macam apa yang ia tinggali, karena sejauh yang kutahu, ia terlalu tak mempedulikan sekitarnya. Ia selalu asik dengan hape di tangannya. Seolah-olah, hape itu adalah kehidupannya.
Pernahkah ia mempedulikan sesuatu melebihi hape di tangannya? Entahlah, semua tentangnya membuatku sangat penasaran.
Nah, itu dia.
"Hei," panggilku ketika kulihat sosok Irla keluar dari gedung di hadapanku dan berjalan mendekat ke arahku. Tapi aku sangat yakin bahwa Irla tidak melihatku. Ia selalu sibuk dengan game di hapenya.
"Irla," panggilku lagi seraya mendekat ke arahnya. Kini ia menoleh ke arahku dan mulai mengabaikan hapenya.
"Ngapain lo di sini?"
"Nungguin lo."
"Ngapain nungguin gue?"
Aku pun tidak tahu kenapa aku menunggunya. Yang pasti, aku hanya ingin melihatnya. Dan juga mendengar suaranya. Dan memperhatikan ekspresi sebalnya. Dan melihat keningnya berkerut. Sial, kenapa aku menyedihkan sekali.
"Pulang bareng?" ajakku yang membuatnya mengernyit bingung. Setelahnya ia hanya menggelengkan kepala seolah mencibir ajakkanku dan meninggalkanku begitu saja. Sudah biasa.
Aku mengikutinya dari belakang. Ia masih setia dengan hape yang ia pegang. Sejak bertemu dengannya, mengikutinya dari belakang seperti ini sudah menjadi hobi baruku. Kalau boleh dibilang, aku menyukai kegiatan ini.
Dari sini dapat kulihat Irla yang sangat mungil. Aku suka cara dia berjalan. Aku suka cara dia menggendong tas punggungnya. Aku suka cara dia tiba-tiba berhenti berjalan. Aku suka cara dia melangkahkan kakinya. Dan sekarang aku menyadari bahwa aku menyukai banyak hal tentangnya. Dia terlihat sederhana, tapi juga terlihat sangat istimewa.
"Lo nggak takut ketabrak, jalan sambil lihat hape kayak gitu?" tanyaku tepat di belakang telinganya. Ia menoleh ke belakang dan mengernyit bingung memandangku.
"Lo ngapain buntutin gue?"
"Entahlah. Mungkin gara-gara lo buntut-able," jawabku bingung sendiri. Buntut-able? Apa yang aku ucapin ini coba?!
"Lo kira gue sapi apa, pake buntut segala."
"Lo nggak jawab pertanyaan gue," kataku sambil berjalan di sebelahnya.
"Gue lebih takut sama stalker kayak lo, dari pada ketabrak," ucapnya tajam.
"Gue bukan stalker."
"Lo sering ngikutin gue. Itu namanya stalker."
Ya, memang aku sering mengikutinya. Tapi aku bukan stalker seperti yang dia bilang. Aku hanya penasaran sama dia. Aku hanya ingin melihatnya selamat sampai tujuan. Itu saja. Dan aku rasa itu bukan stalker. Kata stalker terdengar menyeramkan. Aku bukan psikopat. Aku hanya seorang yang sedang jatuh cinta. Sial, aku kembali merasa sangat menyedihkan.
"Lo nggak lari ketika gue ikutin. Jadi sebenarnya, lo nggak keberatan dong kalau gue ikutin?"
"Terus lo maunya gue lari, ketakutan, teriak-teriak nggak jelas minta tolong kayak orang gila gitu? Sorry ya, gue nggak ada waktu buat ngelakuin hal itu. Gue sibuk sama game di hape gue."
"Yaudah, nggak usah protes juga kalau gue ikutin."
"Tapi gue nggak suka lo ikutin gitu! Bentuk lo nyeremin juga tau. Kadang senyum nggak jelas, kadang masang muka datar nggak jelas juga. Ekspresi lo nggak jelas."
"Lo maunya gue kayak gimana?" tanyaku bingung.
"Dan sekarang lo masang muka polos nggak jelas," jawabnya sambil menggelengkan kepala. Aku hanya berdecak sebal mendengar ucapannya.
Memangnya semua ekspresi yang kupunya itu nggak jelas, ya? Terus ekspresi yang jelas itu bagaimana? Apa ada yang salah dengan wajahku? Tapi aku merasa tak ada yang salah dengan wajahku ataupun diriku.
"Terus ngapain gue ngobrol sama lo. Gue kan masih sibuk nge-game," gumamnya bingung sendiri yang membuatku tersenyum kecil.
Kemudian ia kembali fokus dengan hape yang berada di tangannya. Sedangkan aku kembali fokus mengikutinya berjalan.
"Balik sono, jangan ngikutin gue lagi," ucapnya kepadaku sambil masih sibuk dengan hape di tangannya. Aku hanya menggeleng dan masih setia berjalan di sampingnya.
Sepertinya aku harus berusaha sangat keras untuk sekedar mendapatkan perhatian darinya. Kurasa akan butuh banyak waktu dan perjuangan untuk mendapatkannya. Baiklah, apapun itu akan kulakukan. Aku tak akan pernah rela jika orang lain yang mendapatkannya. Karena aku duluan yang mengincarnya. Tapi entahlah. Yang pasti, aku akan terus berusaha sampai tak ada jalan lain.
![](https://img.wattpad.com/cover/47010471-288-k770988.jpg)