Pagi cerahku yang tak pernah datang, kini benar-benar hanya harapan kosong Milik seorang Anindya Athaya Zahran, yap itu namaku. Namaku yang begitu islami bertolak belakang dengan sikapku. Aku sadar semua yang aku lakukan hanya untuk mencari perhatian kedua orangtuaku yang terus membangga-banggakan kakakku Mawadatul Ulfa.
Aku hanya bisa memandang dari jendela kamar baruku. Sebuah kamar yang berpenghuni 28 orang yang sangat asing dimataku. Mataku terus tertuju pada mobil Alpard milik papa yang terus melaju tanpa berhenti menoleh kearahku. Air matakupun menetes.
Kalian tega! Kenapa harus dibuang kepesantren kalo udah capek ngurusin Nindy? Kenapa enggak dibunuh sekalian aja?! Biar kalian lebih puas nikmatin hidup tanpa perusuh kayak Nindy! Bathinku terus berteriak.
Aku merasakan air mataku kembali menetes. Tapi aku buru-buru mengusapnya. Tak ada yang boleh melihat air mataku. Karena aku bukan gadis cengeng yang sealalu memerkan air matanya di hadapan orang-orang. Aku muak.
Tiba-tiba ada yang menepuk bahuku, akupun memutar badan, dan disana ada gadis cantik seumuranku sedang tersenyum kearahku. kini pakaian kami begitu kontras. Aku yang memakai baju serba ketat dan tanpa kerudung, sedangkan dia sebaliknya. Aku menatapnya, bertanya ada apa lewat mataku yang angkuh ini.
"Mbak, ee anu, apa ya? itu kenalin toh, iku apa yah? nama aku Siti Farhana, panggilnya Farha saja" ucapnya begitu sopan dan ramah. Suaranya begitu medok, terlihat kesusahan mengucapkan kata-kata bahasa indonesia. Dia mengulurkan tangan.
Aku menyilangkan tangan di dada, menilainya dari atas sampai bawah. Lalu aku memutuskan pergi, tanpa menjawab tangannya.
"Nindy" kataku langsung keluar kamar. Anak-anak kamar yang lain melongo melihat aksiku yang memang tidak sopan, tapi aku tidak peduli. Aku ingin pergi!
***
Flashback
"Ya Allah Nindy kamu buat onar apa lagi sih sampe-sampe kamu hampir dikeluarin gini? Kamu tuh harusnya contoh kakak kamu, dia gak pernah bikin kepala mama pusing" kata mama. Yap semua hidupku sealalu dibanding-bandingkan dengan ka Ulfa. Memangnya enak hidup dalam bayangan orang lain?
"aku bukan ka Ulfa ma" kataku malas. Aku tau semua ucapanku tidak akan menang melawan mama. Yang ada aku malah tambah pusing karena mama pasti akan membadingkan aku dengan ka Ulfa lagi.
"Kali ini kamu udah keterlaluan. Kelakuan kamu udah kayak preman. Masa kamu berantem sama cowok, itukan gak wajar! Pokoknya besok ikut mama kepesantren!" teriak Mama. Bahunya naik turun. Aku tau beliau marah.
"Kenapa harus masuk pesantren mah?" cicitku.
"Mama udah gak sanggup ngurus kamu, mama gak kuat!" bentak mama.
Rasanya denger mama ngomong gitu itu lebih sakit dibanding beliau yang terus banding-bandingin aku sama ka Ulfa. Okeh, aku bandel karena muak mendengar kedua orangtuaku yang terus menyanjung-nyanjung ka Ulfa.
Dulu aku sempat berubah. Nilaiku baik bahkan aku bisa dapat juara 1, tapi kalian tau apayang mama dan papa katakan padaku? 'Wah, Ulfa emang bakat jadi guru ya, ngajarin adeknya yang kayak gini sampe dapet rangking satu, papa dan mama bangga sama kamu fa'. Nah siapa yang gak sakit hati coba? Ingin rasanya dulu aku teriak bilang gini 'Mah, pah, aku tuh belajar sendiri, gak ada bantuan ka Ulfa sama sekali!'. Hatiku kacau. Ini juga kak Ulfa enggak ngejelasin apa-apa ke Mama-Papa. Itu yang membuat aku benci setengah mati sama kaka aku sendiri. dia bisa dapetin semua yang diamau. Gak kayak aku yang selalu disalah-salahin sama mama-papa.
"Kalo mama gak kuat kenapa gak bunuh Nindy aja sekalian mah" kataku, kesal.
PLAKKKK! Satu tamparan mendarat dipipiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Penjara Suci (NOVELTOON/MANGATOON)
Teen Fiction[Pindah Ke Noveltoon/Mangatoon] "Kalo memang papa sama mama gak tahan lagi sama sikap Nindy, kenapa kalian harus buang Nindy ke Pesantren? Kenapa gak bunuh Nindy aja sekalian!" -Anindya Athaya Zahran.