Perutku terasa lapar. Rasanya aku ingin sekali memakan orang! Hadeeehh, makan apa nih aku? Akupun celingak-celinguk mecari para penjual makanan, tapi semuanya kosong. Heh! Disini gak ada kantin apa ya?
Aku langsung kembali ke atas, untuk memanggil Farha. Aku beruntung, saat aku sudah sampai di atas, dia keluar dari ruangan pengurus, dan aku tebak dia sudah selesai menelfon orang tuanya terlihat dari wajahnya yang berseri-seri beserta matanya yang masih berkaca-kaca.
"Anterin gue makan yuk, gue laper" kataku, langsung menarik tangannya. Aku benatr-benar menghancurkan reputasiku karena meminta bantuan orang lain. Tapi mau bagaimana lagi, cacing-cacing diperutku sudah demo sedari tadi.
"Mbak ambil piring dulu, yuk" kata Farha. Aku menurut. Jujur aku punya maag dan sekarang perutku sudah sangat sakit penyakit sialan itu kambuh.
Setelah sampai di tempat pengambilan makan, aku mengambil nafas dalam-dalam, rasaya ingin nangis. Antrian santri untuk mengambil makan sangatlah panjang.
"Ya Allah, mbak kenapa pucet banget gitu?" tanya Farha, raut wajahnya khawatir. Aku hanya menggeleng. Aku bukan orang lemah.
"Nyelak aja dah yok, nyelak" kataku. Tanganku masih memegangi peutku yang mulasi seperti ditusuk-tusuk jarum.
"Nyelak itu apa mbak?" tanya Farha.
Aku memutar bola mata, aku frustasi. Ternyata walaupun Farha bisa berbahasa indonesia tidak bisa menjamin dia tau semua kosa kata yang aku lontarkan. Aku frustasi, otakku sudah tak bisa berfikir walaqu hanya untuk menjelaskan kata menyelak. Rasanya ingin mati saja!
"Ah kentang! Ada warung gak di sekitar sini?" tanyaku. Dalah mati aku reus berdoa agar Farha menjawab Ada.
Farha mengangguk. Aku langsung menarik lagi tangannya. Lalu dengan khawatir dia terus melirikku. Heh! Memangnya aku semenyedihkan itu?
"Mbak disini aja deh, aku aja yang beli mbak" kata Farha.
"gak usah, emangnya jauh warungnya?" tanyaku. Aku tidak bisa menunggu.
"dideket Ndalem abah" kata Farha.
Aku mengangguk, tidak apa lah. Walaupun aku tidak bisa menjamin aku kuat berjalan kesana. Farha ingin membantuku dengan memapahku. Tapi aku tidak mau. Egoku masih sangat besarr. Aku tidak mau jadi orang lemah. Sakit perutku ini tidak sebanding sakit hatiku saat tau aku di buang ke penjara ini.
"Ya Allah mbak, mbak udah pucet banget" kata Farha, dia mulai panik.
Perutku semakin menjadi-jadi, dan keringat mulai membasahi setiap inci tubuhku, kepalaku sakit itu sangat menganggu. Aku menggeleng jutek pada Farha yang berhenti ditengah jalan tepat di depan Ndalem Abah. Aku tidak mau masuk ke rumah Umi dan bertemu beliau lagi. Itu sama saja menghancurkan aksi bunuh diriku.
Sakit maag ku tidak bisa mengantarkanku untuk cepat mati dan aku tidak mau merasakan sakit lagi, rasanya hanya untuk mendengar kata sakit saja aku tidak sanggup. Dirumahku dulu aku sering merasakan sakit ini tapi tentu saja semua orang di rumahku tak ada yang tau, karena ya memang tak ada yang benar-benar peduli padaku. Dan saat ini, ada orang asing berjilbab yang sangat mengkhawatirrkanku walaupun kita baru berkenalan kurang dari 24jam. Yeah dia Farha. jauh di dalam sana aku merasakan hatiku tertegur.
Aku tak tahan lagi menrasakan sakut ini dan pandanganku mulai goyang. Ntah benar atau tidak ada seseorang yang berlari kearahku dengan sarung hitam berbayang-bayang, begitu samar-samar hingga aku tak bisa merasakan apa-apa lagi. Aku harap pemilik sarung itu adalah malaikat kematianku.
***
Aku membuka mataku, sayup-sayup mendengar suara indah seseorang yang sedang mengaji. Begitu menentramkan hati. Beberapa menit aku hanya diam, memperhatikan langit-langit kamar yang ntah milik siapa sambil mendengarkan suara emas itu yang masih melantunkan ayat suci Al-Qur'an.
KAMU SEDANG MEMBACA
Penjara Suci (NOVELTOON/MANGATOON)
Teen Fiction[Pindah Ke Noveltoon/Mangatoon] "Kalo memang papa sama mama gak tahan lagi sama sikap Nindy, kenapa kalian harus buang Nindy ke Pesantren? Kenapa gak bunuh Nindy aja sekalian!" -Anindya Athaya Zahran.