"Adikmu itu benar-benar aneh, Mas. Matahari hampir terbenam kok dia malah jalan-jalan ke perkebunan.. Apa yang mau dilihat?" ujar wanita itu sambil meletakkan secangkir kopi di sudut meja kerja suaminya. Wajahnya yang cantik dan bersih sama sekali tak menyiratkan usianya yang menjelang tiga puluh."Sudahlah, Von. Dia kan memang seperti itu kalau kemari. Buat apa kamu urusi? Dia sudah dewasa. Lebih baik kamu bantu aku menyelesaikan laporan bulan ini. Aku capek!" jawab sang suami tanpa meninggalkan matanya dari layar laptop.
"Kamu juga sih, Mas.. ini kan perusahaan keluarga, tapi kamu harus mengurusnya sendirian. Panggil Ridho ke sini untuk bantu kamu! Kuliahnya sudah lama selesai, bukannya ikut ngurus perkebunan, malah lontang-lantung sesuka hati.. Nggak jelas.." gerutunya.
"Sudahlah, Vonny! Kamu nggak usah ngajari aku.. Kalau memang kamu nggak mau bantu, lebih baik kamu keluar saja. Aku sibuk! Bikin tambah pusing saja kamu!" seru Ridwan membentak istrinya.
Vonny langsung meninggalkan suaminya dengan wajah masam.
"Salma, buatkan saya teh! Nggak pakai gula!" teriaknya di ambang pintu ruang kerja suaminya.
Ridwan hanya melirik istrinya sekilas. Hatinya mendesah, istri cantiknya itu semakin lama semakin menunjukkan tabiat yang tak disukainya. Dia tahu Vonny cenderung manja dan mudah emosi, namun bertahun-tahun mereka menikah, Vonny tak juga mau belajar untuk bersikap lebih dewasa.
***
Radit masih belum beranjak dari posisinya berdiri. Pandangannya menerawang jauh. Dia sangat yakin di sinilah tempatnya. Tempat di mana dia bertemu dengan gadis itu. Wajahnya tak begitu jelas karena matahari saat itu hampir terbenam. Namun sinar matahari tak mampu menyembunyikan pesona wajahnya. Sesaat Radit terpana melihat gadis itu. Hingga gadis itu menjauh. Semakin jauh sampai hanya terlihat seperti sebuah titik dan akhirnya bayangan itu menghilang bersama senja.
Entah sudah berapa kali mimpi itu hadir dalam tidurnya. Apapun artinya.. namun mimpi itu telah berhasil mengusik ketenangan hatinya. Karena itu pula diputuskannya untuk datang kemari, ke perkebunan milik keluarga, di mana kakak sulungnya tinggal. Reina yang kebetulan saat itu libur semester, diajaknya serta. Dia tak tega meninggalkan adik perempuannya itu bersama Ridho. Kakaknya yang satu itu jarang di rumah. Bagaimana mungkin dia pergi meninggalkan Reina tanpa pengawasan. Sekalipun ada pembantu di rumah, tetap saja dia khawatir.
Agaknya Reina pun begitu senang saat tiba di sini tadi pagi. Dia langsung menemui Bik Minah di dapur dan membantunya memasak untuk makan siang. Tak dihiraukannya istri kakaknya yang melarang. Tak satupun dari mereka yang cocok dengan Vonny. Tidak Ridho, Reina, atau dia sendiri. Vonny selalu ingin menang sendiri. Kalau bukan status wanita itu sebagai istri kakaknya, takkan pernah dia menghormati Vonny.
***
"Jangan paksa aku! Sudah kubilang berkali-kali aku tak mau ikut campur soal perkebunan! Kakak sajalah yang urus.."
Wajah lelaki itu merah padam berusaha menahan diri. Disekanya keringat yang membasahi keningnya. Udara yang sejuk tampaknya tak berpengaruh pada kegerahan hatinya. Baru satu jam yang lalu dia datang untuk menyusul kedua adiknya, tapi kini sudah harus perang urat lagi dengan sang kakak untuk topik yang masih sama.
"Nanti biar Radit yang bantu kalau S2-nya sudah kelar. Dia kan sudah bilang mau. Lagipula kita sudah lihat kemampuannya bagaimana dan Kakak sendiri sudah cocok dengan cara kerjanya. Nanti juga Reina setelah lulus akan menyusul jejak kalian."
"Reina itu baru mulai kuliah. Percuma saja! Sementara inilah sambil menunggu Radit selesai S2. Kalau nanti dia sudah bisa full di sini baru kamu serahkan pekerjaanmu padanya." Ridwan berusaha meluluhkan pendirian adiknya.
"Jadi hanya untuk ini aku dipanggil kemari? Sudahlah, Kak.. Ini pasti juga karena istri Kakak yang nyuruh kan?"
"Vonny ada benarnya juga. Ini perusahaan keluarga. Siapa lagi yang meneruskan setelah orang tua kita tidak ada, kalau bukan kita anak-anaknya?"
Ridho mendesah.
"Tidak ada bedanya siapa yang meneruskan. Kakak sendiri sudah tau kalau kemampuanku bukan di sini."
"Hanya sampai Radit benar-benar siap. Setelah itu aku tidak peduli lagi. Kamu bisa melakukan apapun yang kamu inginkan!"
"Maaf, Kak.. Aku tidak mungkin melakukannya. Bulan depan aku ikut kualifikasi ke Beijing."
Ridwan mendekati Ridho. Mencoba bersikap halus.
"Apa tak bisa kamu coba pertimbangkan lagi?"
"Aku tak mau berdebat. Jadi tolong hargai keputusanku! Sore ini juga aku akan kembali ke Jakarta."
"Terserahlah! Percuma saja aku membujuk anak keras kepala seperti kamu!" seru Ridwan meninggalkan adiknya. Sia-sia saja berulang kali membujuk Ridho, hasilnya tetap sama.
Ridho terdiam memandang kakaknya yang terlihat mengetuk pintu kamar. Sekilas tampak Vonny yang membuka pintu sambil menatap tajam ke arahnya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
PESONA DI UJUNG SENJA
RandomPandangannya menerawang jauh. Dia sangat yakin di sinilah tempatnya. Tempat di mana dia bertemu dengan gadis itu. Wajahnya tak begitu jelas karena matahari saat itu hampir terbenam. Namun sinar matahari tak mampu menyembunyikan pesona wajahnya.