Dua

901 67 0
                                    


"Sudah sore begini kenapa Vicky belum mandi? Kamu ini gimana sih, Salma?!" teriak Vonny.

Salma menunduk.

"Maaf, Non.. Dari tadi sudah saya bujuk, tapi Den Vicky belum mau. Malah lari-lari terus dari tadi, ikut main bola sama Den Bian.."

"Kenapa dibiarin? Suruh Bian mandi juga! Ini malah kamu biarin adiknya ikutan main.." omelnya.

"Maaf, Non.." Salma makin menunduk. Tak jarang dia mendapat omelan dari nyonya rumah, namun dia tetap bertahan di keluarga itu karena walaupun galak, nyonya rumah sering memberinya uang lebih untuk dikirim pada keluarganya di kampung seberang.

"Huhh! Ngurus anak kecil aja nggak becus kamu!" tambah Vonny.

"Sebenarnya yang nggak becus ngurus anak itu Salma atau Kak Vonny...?"

Vonny terkejut. Merasa kesal ada yang bicara seperti itu padanya. Ditatapnya adik iparnya dengan tajam.

"Rei, Kakak nggak bicara sama kamu. Jangan ikut campur!" kata Vonny lalu beranjak meninggalkan mereka.

"Bian... Vicky..." serunya memanggil kedua anaknya.

Reina hanya mengangkat bahu. Kak Ridwan ini salah pilih istri atau apa sih? Ah, buat apa juga dipikirkan? Toh aku takkan pernah didengar karena masih dianggap anak kecil.

"Dari mana, Kak?" tanya gadis itu saat melihat Radit masuk dengan rambut basah. "Salah sendiri! Udah tau mendung malah keluar, kehujanan kan... Lagian ngapain sih Kakak tiap sore jalan-jalan ke perkebunan? Nyari inspirasi?" ledeknya.

"Ambilin handuk, Rei!" serunya tanpa menghiraukan pertanyaan adik perempuannya.

"Ambil aja sendiri!" balas Reina lalu meninggalkan kakaknya.

Radit terpaksa menelan kedongkolannya. Dia bergegas ke belakang. Dilihatnya Bik Minah sibuk menyiapkan makan malam.

"Mau dibuatkan teh hangat, Den?" tanya Bik Minah begitu melihat majikannya menggigil kedinginan.

"Bibik kan lagi sibuk. Biar saya buat sendiri."

"Nggak kok, Den. Biar Bibik saja yang buatkan." Bik Minah segera mengambil cangkir lalu menyeduh teh. "Lin, tolong kamu lanjutkan menyiapkan meja makan!" teriak Bik Minah.

"Iya, Bi..." terdengar suara seorang perempuan.

Radit mengernyitkan dahi. Sepengetahuannya pembantu di rumah ini hanya Bik Minah dan Salma. Apa ada pembantu baru? Selama beberapa hari di sini rasanya dia tak melihat ada orang lain lagi.

"Siapa itu, Bik?"

"Oh, itu Lintang, Den.. Keponakan almarhum suami saya. Kadang dia bantu saya di sini kalau tidak sedang memetik teh atau mengajar di SD."

"Dia guru?" tanya Radit sambil meminum tehnya.

"Sebenarnya bukan, Den. Tapi daerah pegunungan seperti di sini masih kekurangan guru. Awalnya sih hanya sekedar membantu karena banyak guru yang kewalahan, tapi malah akhirnya dipertahankan. Lintang itu sebenarnya cerdas semasa sekolah. Usianya tak jauh beda dengan Non Reina." terang Bik Minah.

"Tidak kuliah?"

"Biaya dari mana, Den? Orang tuanya sudah meninggal. Pamannya juga sudah meninggal, dan Bibik cuma pembantu. Penghasilannya mengajar dan memetik teh juga tak seberapa.. Sudah untung dia bisa tamat SMA..."

Radit tak begitu mendengarkan lagi penjelasan Bik Minah saat pandangannya tertuju pada gadis yang berjalan menghampiri mereka. Gadis itu mengangguk padanya, namun Radit tak bereaksi apapun.

"Lintang pulang ya, Bi?" katanya pada Bik Minah.

"Di luar masih hujan."

"Ah, tinggal gerimis kecil."

"Sebentar..." Bik Minah menoleh pada Radit. "Den, ini Lintang yang Bibik bilang tadi. Lintang, ini Den Radit, putra ketiga almarhum Tuan Wiratama. Adik Den Ridwan."

Radit tersadar dari lamunannya. Dia bergegas mengulurkan tangannya. Lintang merasa ragu menyambut uluran tangan Radit. Selama ini dia belum pernah melihat satupun keluarga Wiratama yang berjabat tangan dengannya, bibinya, atau Salma. Namun saat bibinya menyenggol lengannya, Lintang dengan gugup segera menyambut uluran tangan itu.

***

PESONA DI UJUNG SENJATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang