"Lintang...!"Lintang menoleh saat mendengar ada yang memanggil namanya. Seketika itu pula dia terkejut melihat sosok yang tengah berlari kecil menghampirinya.
"Den Radit...?" tanyanya memastikan.
"Jangan panggil Den! Radit saja."
Lintang merasa bingung. "Maaf, Den.. Tapi saya tidak enak. Den Radit itu majikan saya."
Radit tertawa kecil. "Majikan? Kamu bukan pekerjaku. Majikan kamu itu kakakku."
"Sama saja, Den. Semua anggota keluarga Wiratama itu majikan. Bibi juga memanggil begitu pada Den Radit."
"Tidak dengan kamu." potong Radit sebelum Lintang banyak bicara.
"Kenapa?" tanya gadis itu heran.
"Karena aku nggak mau dipanggil begitu." katanya sambil menatap mata Lintang.
Lintang mengalihkan wajahnya. "Jangan, Den.. Saya tidak mau disebut lancang."
Radit menyerah. "Ok! Di depan orang lain terserah. Tapi kalau hanya kita berdua panggil Radit saja." ujarnya terus mendesak.
Lintang masih berpikir. Aneh sekali keluarga Wiratama yang satu ini. Ah, bukan hanya dia. Saudara perempuannya juga menolak dipanggil Nona. Untuk sesama perempuan memang dia tak begitu canggung. Tapi yang ini? Lintang merasa benar-benar bingung bersikap di hadapan lelaki ini.
"Kalau Mas Radit...?" tanya Lintang. "Mbak Reina juga sama seperti Den Radit."
"Den lagi... Mas Radit? Ok! Itu lebih baik daripada Den."
"Iya.. Mas Radit.." Lintang tersenyum, memperlihatkan keindahan bibirnya yang merekah menggoda pandangan Radit.
"Kamu mau mengajar kan? Aku antar ya?" Radit mencoba menepis desiran di dadanya.
Lintang terkejut. "Jangan, Den! Eh, maksud saya... tidak perlu, Mas Radit. Saya tidak enak sama orang-orang kalau mereka lihat kita berdua begini."
"Memangnya kenapa? Ada yang salah?" tanya Radit.
"Itu... emm...." Lintang kebingungan sendiri bagaimana menjelaskannya pada Radit.
"Ah, sudahlah.. Nggak perlu kamu pikirkan. Lagipula aku cuma sekalian jalan-jalan juga. Kita kan kebetulan ketemu di sini."
Akhirnya Lintang mengangguk walaupun dengan perasaan ragu. Dalam hatinya ia berdoa semoga tidak ada yang mengoceh macam-macam kalau ada yang melihat. Dia sangat khawatir seandainya ada warga yang ternyata bermulut tajam.
***
"Aduh.. saya tidak mungkin salah lihat, Non.. Saya benar-benar yakin kalau yang saya lihat bersama Lintang itu Den Radit."
"Kamu jangan mengada-ada, Salma!" teriak Vonny. Diliriknya sosok yang duduk di sampingnya.
"Benar, Non.. Saya nggak bohong. Saya beberapa kali melihatnya. Mereka kelihatan akrab. Sungguh, Den Ridwan.. Saya berani dipecat kalau saya salah lihat." terang Salma mencoba meyakinkan majikannya.
Vonny kembali melirik sosok di sampingnya. Dahinya yang berkerut menandakan lelaki itu sedang berpikir.
"Maaf, Den Ridwan.. saya juga mendengar ada penduduk yang mulai membicarakan tentang Den Radit.."
"Tuh, kamu lihat kelakuan adik kamu, Mas! Apa-apaan sih dia jalan sama pembantu? Bikin malu saja!" sambung Vonny.
Ridwan merasakan kepalanya sakit. Pekerjaannya menumpuk. Tidak ada yang membantunya mengelola perkebunan. Ridho sulit diajak bicara. Vonny protes terus. Sekarang adiknya yang lain membuat ulah.
"Sudah! Sudah!" seru Ridwan bangkit dari duduknya.
"Kamu nggak bisa diam begitu saja, Mas! Apa kata orang? Anak keluarga Wiratama jalan sama anak pembantu? Bisa turun wibawa kita.."
"Sudah, Von!" Ridwan berjalan ke ruang kerjanya. Dia sedang tak ingin berdebat dengan istrinya.
"Mas..." Vonny mengikuti suaminya. "Biar nanti aku tegur Bik Minah. Biar dia marahi keponakannya yang nggak tau diri itu! Kalau tidak, biar aku yang urus. Lebih baik pecat saja anak itu, Mas! Kalau perlu, Bik Minah juga dipecat..."
Ridwan tersentak. Tak menyangka istrinya akan berkata keterlaluan seperti itu. Vonny seakan sengaja menyulut emosinya.
"Apa-apaan sih kamu?! Bik Minah itu sudah mengabdi di keluarga kita puluhan tahun. Aku tidak akan pernah memecatnya! Lagipula bukan dia yang salah. Jangan melibatkan orang yang tak ada sangkut pautnya.. Ini tidak akan menyelesaikan masalah.."
"Tapi, Mas..."
"Hentikan, Vonny! Aku kepala keluarga. Aku yang berhak memutuskan. Kalau Radit pulang, suruh dia menemuiku!"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
PESONA DI UJUNG SENJA
RandomPandangannya menerawang jauh. Dia sangat yakin di sinilah tempatnya. Tempat di mana dia bertemu dengan gadis itu. Wajahnya tak begitu jelas karena matahari saat itu hampir terbenam. Namun sinar matahari tak mampu menyembunyikan pesona wajahnya.