"Kamu jangan bikin ulah di sini!" teriak Ridwan.Radit merasa aneh tiba-tiba kakaknya marah-marah seperti ini. Tadi pun istri kakaknya itu bersikap ketus padanya. Radit tak mengerti. Apa yang sebenarnya terjadi? Seingatnya dia tak melakukan kesalahan apapun.
"Ada apa sih, Kak? Aku ulah apa?"
"Benar kamu dekat dengan keponakan Bik Minah?"
"Lintang?" tanya Radit memastikan. Namun kakaknya itu hanya menatap tajam padanya.
"Apa masalahnya sih, Kak? Aku hanya ngobrol dan berteman sama dia." jawab Radit tenang.
"Pertemanan macam apa?" kejar Ridwan.
"Maksud Kakak?"
"Kamu pikir pantas kalau kalian menjalin hubungan? Jangan bikin malu, Radit! Orang-orang sekitar sini sudah mulai mempergunjingkan kalian!"
Radit mulai paham arah pembicaraan kakaknya.
"Bikin malu? Apa salahnya kalau aku berhubungan dengan Lintang?" tantangnya.
"Kamu...!" Ridwan tak bisa menahan amarahnya. Tangannya sudah siap diayunkan.
"Pukul, Kak! Ayo, pukul saja aku! Cuma itu yang bisa Kakak lakukan? Marah-marah? Memangnya aku tidak tau kalau Kakak hanya terpengaruh sama istri kakak yang egois itu!"
"Raditya Wiratama...! Jaga bicaramu! Dia kakak iparmu!" Ridwan semakin geram mendengar adiknya menantang.
"Aku tidak ingin berdebat lagi. Aku sudah cukup pusing dengan keadaan di sini. Aku tidak mau tau, besok pagi kamu dan Reina harus pulang ke Jakarta." lanjutnya.
"Kakak pikir dengan aku pulang, masalah akan selesai begitu saja? Aku tidak akan menyerah! Aku akan tetap mempertahankan hubunganku dengan Lintang." tegas Radit sebelum meninggalkan ruang kerja sang kakak.
***
"Aku harus kembali ke Jakarta besok pagi." desah gadis belasan tahun itu dengan wajah murung.
"Besok?"
Gadis itu mengangguk. "Kak Ridwan tau tentang hubungan kalian. Kemarin mereka bertengkar."
Lintang tertunduk.
"Ini salah saya. Kalau saja saya bisa menjaga jarak dengan Mas Radit..."
"Bukan salah kamu, Lintang. Kak Radit menyukai kamu. Aku sama sekali nggak menyalahkan kalian. Sebenarnya Kak Ridwan itu baik. Hanya saja kurasa dia terpengaruh dengan istrinya. Kalian sabar aja ya..."
Lintang mengangguk. "Terima kasih. Mbak Reina terlalu baik sama saya."
"Panggil aku Reina, Lintang. Kita hanya berdua kan? Aku ingin kita merasa lebih akrab."
Lintang kembali mengangguk.
"Kamu punya gitar, Lin? Waktu ke sini aku lupa bawa."
"Kamu bisa main gitar?" tanya Lintang berbinar.
"Bisa. Aku suka banget. Mau aku ajari?"
"Mau sih.. Tapi saya nggak punya gitar. Oh iya! Saya bisa pinjamkan sama teman saya."
"Nggak apa-apa?"
Lintang langsung menarik tangan Reina. Reina tergesa mengikuti langkah Lintang.
"Kang Husein...!" seru Lintang menghampiri seorang pemuda yang sedang duduk membaca di beranda rumah.
"Ada apa, Lintang?" tanya pemuda itu mendongakkan wajahnya.
"Ada perlu sebentar, Kang. Oya, kenalin ini Mbak Reina. Anak bungsu keluarga Wiratama."
Husein segera beranjak menghampiri kedua gadis itu.
"Kak Husein...? Kak Husein ketua Mapala kan?!" seru Reina. Dia sejak tadi merasa mengenal orang yang dipanggil Lintang.
Husein justru terkejut menatap Reina.
"Kalian saling kenal?" tanya Lintang.
"Dia kakak tingkatku, Lin. Kami sekampus." bisik Reina.
"Kak Husein ingat nggak waktu ospek kemarin? Kakak hukum aku loncat-loncat di lapangan gara-gara aku telat."
Husein mencoba mengingat. Tak lama akhirnya dia tertawa kecil. "Ya... aku ingat sekarang. Jadi kamu putri keluarga Wiratama?"
Reina mengangguk. Ternyata dunia sempit ya? Pikirnya.
"Begini, Kang. Mbak Reina mau ngajari saya main gitar, tapi dia lupa bawa gitarnya waktu kemari. Kalau boleh, saya mau pinjam punya Kang Husein."
"Oh, boleh...boleh.. Sebentar saya ambil ke dalam.. Ayo silakan duduk dulu." Husein bergegas masuk setelah mempersilakan keduanya.
"Jadi Kak Husein tinggal di sini juga? Kalau aku tau sejak awal..." gumam Reina setengah berbisik.
"Roman-romannya ada yang senang nih..." gurau Lintang. "Kak Husein itu anaknya Pak Dayat, mandor di perkebunan."
Reina hanya tersenyum manggut-manggut. "Aku memang naksir sama dia."
"Hahh??!" Lintang terkejut. Namun dia tak melanjutkan bicara setelah didengarnya suara langkah kaki dari dalam.
Tak lama Husein muncul lalu menyerahkan gitarnya pada Lintang.
"Makasih ya, Kang. Nanti saya yang balikin kemari. Permisi dulu." kata Lintang berpamitan.
Reina mengangguk dan tersenyum pada Husein. Agaknya gadis kota itu akan menyusul jejak kakak ketiganya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
PESONA DI UJUNG SENJA
RandomPandangannya menerawang jauh. Dia sangat yakin di sinilah tempatnya. Tempat di mana dia bertemu dengan gadis itu. Wajahnya tak begitu jelas karena matahari saat itu hampir terbenam. Namun sinar matahari tak mampu menyembunyikan pesona wajahnya.