WHEN LOVE IS NOT ENOUGH

17.8K 1.3K 61
                                    


Apa saja dalam diri Linus disukainya. Badannya tegap dan padat, lengannya kukuh, kakinya kuat, dan suaranya yang berat dan dalam. Witty humor, practical skills. Linus the genius.

"Aku ingin bicara, Ly."

Lily menatap nanar pada laki-laki yang tampak sama hancurnya dengan dirinya.

"Aku hampir mati! Dua kali aku hampir mati. Saat aku melahirkan anak kita dan saat anak kita pergi untuk selamanya. Kamu bilang kamu akan selalu bersamaku. Di mana kamu saat aku hampir mati?"

"Di mana kamu saat anakmu sedang mati?" Lily tidak bisa menahan tangisnya.

Linus memang ada saat Lily melahirkan dan saat anaknya meninggal. Tapi yang hadir hanya tubuhnya. Bukan hatinya.

"Aku minta maaf, Ly." Sudah hilang prinsip dalam hidup Linus bahwa sebaiknya pria tidak menangis. Melihat wanita yang dicintainya, sahabat terbaiknya, teman hidupnya selama lima tahun ini, menangis karena dirinya, membuka sumbat air matanya.

Dia tidak pantas dimaafkan, kan?

"Apa akan ada gunanya kalau aku memaafkanmu?"

"Kamu memaafkan aku atau tidak, aku tetap tidak bisa kembali ke masa lalu dan memperbaiki semuanya." Sambil bercanda Linus pernah mengatakan kepada Lily kalau dia ingin membuat mesin waktu. Saat ini, akan bagus kalau dia bisa betul-betul membuatnya.

"Memaafkanmu tidak akan membuat Leyna hidup kembali."

"Apa kamu bisa memberiku kesempatan? Aku ingin menebus kesalahan. Berpisah tidak akan membuat semua ini lebih baik. Aku tidak bisa hidup tanpa kamu."

Sama. Lily ingin menjawab begitu.

"Nggak bisa? Apa yang nggak bisa? Berapa bulan kita hidup sendiri-sendiri? Sejak aku hamil, kamu bisa! Kamu baik-baik saja. Kamu bahagia. Tanpa aku dan Leyna. Jadi apa bedanya?" Di antara air matanya, Lily berteriak, tidak peduli lagi kalau orangtuanya bisa mendengar pertengkaran mereka.

Bahagia? Siapa bilang Linus bahagia?

Linus menunggu sampai Lily sedikit tenang. "Aku nggak baik-baik saja, Ly. Aku sama sakitnya. Aku ingin dekat sama kamu dan Leyna. Tapi aku ragu setelah semua sikapku sebelumnya."

Bukankah dia yang menabuh genderang perang? Walaupun sangat tergoda karena melihat bagaimana Leyna saat menangis dan Lily tertawa, Linus takut perhatian akademisnya akan teralihkan dengan kehadiran Leyna. Kebodohan yang disesalinya.

"Linus," kali ini Lily menjawab dengan lemah. "Kesempatan apa lagi yang kamu mau? Nggak akan ada gunanya kita hidup bersama. Menebus kesalahan bagaimana? Apa kamu pikir aku masih mau punya anak sama kamu? Jadi demi kebaikan kita semua, lebih baik kita tetap dengan rencana kita."

"Itu rencanamu, Ly. Rencanaku lebih baik kita mencoba lagi."

Sulit untuk kembali memercayakan hidupnya pada Linus. Sangat sulit. =

"Untuk apa, Linus?" Lily menangis putus asa. "Untuk apa?"

"Kebahagiaan kita." Mungkin. Linus benar-benar tidak tahu.

"Aku sudah nggak kenal kata itu lagi sejak Leyna nggak ada. Jadi tidak ada gunanya."

"Kita belum mencobanya." Linus masih yakin bahwa mereka bisa kembali membangun hidup bersama lagi.

"Nggak ada gunanya, Linus. Nggak ada gunanya." Lily menggeleng.

"Kita tidak sedang membahas masa lalu, Ly. Kita membicarakan masa depan."

Sebelum mesin waktu berhasil diciptakan, yang bisa dilakukan manusia adalah menerima masa lalu apa adanya.

"Aku nggak mau menyia-nyiakan hidupku dengan orang yang nggak menginginkan kehidupan yang sama denganku." Kali ini Lily dengan sangat tegas mengatakannya dan berharap Linus mengerti.

"Coba pikirkan Mama dan Papa, Ly. Bagaimana perasaan mereka melihat kita berpisah?" Linus masih berusaha.

"Kamu yang menyebabkan semua jadi begini."

Tepat sasaran. Telak mengenai Linus. Jawaban dari Lily itu. Hingga Linus tidak bisa mengatakan apa-apa lagi.

***
Linus duduk di teras belakang bersama dengan ayah Lily setelah makan malam. Karena Linus ada di sini, Lily tidak keluar kamar dan tidak ikut makan malam dengan alasan pusing. Biasanya obrolan dengan mertuanya ini mengalir begitu saja. Diawali dengan sepak bola dan berlanjut pada kondisi ekonomi dunia. Atau apa saja.

"Saat Lily masih TK dulu, Papa sering tanya padanya. Siapa yang lebih disukainya. Linus atau Mikkel. Dia menjawab Linus. Linus atau Afnan. Dia juga menjawab Linus. Linus atau Papa, tetap jawabannya Linus."

Sejak dulu memang Lily miliknya. Entah dengan masa depan. Linus tersenyum pahit.

"Semua baik-baik saja?" Linus menggeleng, menjawab pertanyaan mertuanya. Tidak baik-baik saja.

"Aku menyakiti Lily." Biar saja kalau memang dia akan diusir karena mengakui kesalahan ini. "Kami bertengkar dan aku mengeluarkan kalimat tidak pantas."

Untuk menolak janin di perut Lily dan meneriakinya karena hamil tanpa rencana.

"Papa berusaha tidak memihak siapa-siapa. Tapi Lily itu anak perempuan satu-satunya, anak kesayangan Papa. Melihat Lily seperti itu, membuat Papa khawatir. Kamu tentu mengerti rasanya, kita sama-sama seorang ayah."

Ada satu sayatan di dada Linus. Apa Linus pernah menjalankan perannya sebagai ayah? Mengkhawatirkan anaknya seperti mertuanya ini?

"Maafkan aku, Pa. Kalau Lily mau memberiku kesempatan, Papa dan Mama memberiku kesempatan, aku ingin memperbaiki semua sikapku dan hidup bersama Lily dengan lebih baik. Memberikan yang terbaik untuknya."

"Lebih cepat kalau kita menciptakan kesempatan. Bukan menunggu."

Linus mengangguk setuju.

"Aku...." Tenggorokan Linus tersekat.

"Tidak bisa hidup tanpa Lily?" Fritdjof, ayah Lily, melanjutkan. "Papa juga bukan orang yang sempurna. Pernah menyakiti Kana. Melihat orang yang kita cintai menangis, itu sudah menjadi hukuman yang paling berat.

"Sampai hari ini Papa yakin kita masih mencintai wanita yang sama. Papa akan mencoba percaya bahwa kamu akan membahagiakannya."


Le Marriage: WHEN LOVE IS NOT ENOUGHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang