5. How To Train Your Date

1.8K 121 18
                                    

Jackie sadar bahwa kecil kemungkinan dia akan menemui Aurel di kota Arendelle jika dia tidak tahu tujuan pasti gadis itu. Tapi dia tetap melangkah menuju kota dengan kamera kesayangannya. Keriuhan mobil pemadam kebakaran dan mobil patroli polisi yang melintas ke arah Arendelle College menyambutnya. Orang-orang membicarakan insiden kebakaran di sana dan Jackie tak minat sama sekali menjadi orang kurang kerjaan yang menghambat kerja para petugas keamanan.

Lagipula Aurel yang cuek pasti tidak mungkin berada di sana, batin Jackie berbalik mengabaikan gedung Arendelle College yang masih mengepulkan asap.

Jackie memulai kembali kebiasaannya berjalan-jalan di kota sambil memotret momen menarik yang ditemuinya. Matahari mulai tinggi saat Jackie sampai di alun-alun kota. Di sanalah Jackie menemukan Aurel, berdiri menghadap patung pualam yang ternyata merupakan hasil karya mendiang ibunya. Gadis itu mengenakan kaus putih polos yang ditutupi jersey hitam dan celana panjang berwarna serupa. Jackie melihat berbagai emosi terpancar di mata Aurel seiring dengan berubahnya gradiasi warna mata itu.

Sedih, merasa bersalah, dan khawatir. Ekspresi yang tak pernah ditunjukkan Aurel sedikit pun. Tangan Jackie bergerak sendiri memposisikan kamera di depan wajahnya, membidik baik-baik wajah gadis itu di balik lensanya, lalu menekan tombol shutter di kameranya.

Klik!

Suara itulah yang mengalihkan pandangan Aurel dari patung di hadapannya dan mendapati Jackie sedang memotretnya. Saat ini Aurel sedang tidak ingin mendebat, bermain atau apapun dengan pemuda itu. Bukan hanya karena ucapan kasar tempo hari tentang ibunya tapi juga karena dia sedang mengkhawatirkan Kairav.

Aurel baru saja hendak meninggalkan alun-alun namun urung ketika mendengar suara Jackie menginterupsinya.

“Aurel, tunggu!”

Langkah Aurel terhenti namun ia masih enggan untuk berbalik. Melihat gadis berambut pirang keperakan itu tak mau menatapnya, Jackie merasa lidahnya kelu. Ia bahkan begitu kesulitan meneguk ludahnya sendiri demi membasahi tenggorokannya yang kering. Untuk pertama kalinya dalam hidup selama delapan belas tahun, Jackie merasakan betapa tegangnya meminta maaf.

Selama ini Jackie selalu minta maaf dengan sikap ogah-ogahan, apalagi jika pada ayahnya yang selalu menasehati setelah ia pulang berkelahi. Kali ini, pemuda itu menyadari dia memang melakukan kesalahan.

Siapa yang tidak marah jika ada seseorang menghujat wanita luar biasa yang sudah berjuang keras melahirkanmu?

“Aku… minta maaf atas ucapan kasarku tempo hari.”

Hening. Tidak ada respon.

“Kau benar. Aku tidak mengenal ibumu dan tidak seharusnya aku mengucapkan kata tidak sopan seperti itu. Aku…” Jackie terdiam, memberi jeda sejenak. “…selama ini aku hanya berasumsi sendiri tentang dirinya. Hanya karena tidak sengaja mencuri dengar tentang ibumu yang memiliki masa lalu dengan ayahku yang sudah memiliki mama, aku beranggapan dia adalah wanita tidak benar.”

Jackie tidak tahu mengapa kata-kata itu meluncur keluar dari mulutnya. Anehnya Jackie tidak merasa menyesal dan terpaksa, justru ia merasa sesuatu yang menghimpit hatinya telah lenyap meski belum sepenuhnya. Hening masih setia melingkupi mereka, bahkan ketika Aurel berbalik dan menatapnya.

Aurel tak menatapnya dengan jahil dan geli seperti biasa. Ekspresinya datar dan mata biru itu makin menggelap. Entah kenapa Jackie tidak suka Aurel yang sekarang, dia lebih memilih Aurel yang biasanya. Gadis menyebalkan yang senang menggoda dan menjahilinya.

“Hanya itu?” Suara Aurel yang dingin memecah kesunyian, berbanding terbalik dengan udara musim panas di sekeliling mereka.

Jelas sekali Aurel tidak percaya dengan ucapannya, membuat Jackie kesal sendiri. Ini pertama kalinya Jackie minta maaf dengan tulus selain pada mamanya dan gadis itu malah tidak percaya. Come on! Apalagi yang harus dilakukannya agar gadis itu percaya?!

SnowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang