My New Name

36 3 0
                                    

Aku duduk sambil menopang daguku. Bosan. Semenjak jalang itu pergi ia tak mengeluarkan suara sedikitpun. Apakah ia memang sudah memiliki kepribadian pendiam seperti itu? Ya, dilihat dari tempat tinggalnya aku dapat memprediksi ia tinggal seorang diri disini, jadi wajar saja ia seperti itu. Tapi hey! aku kan sudah disini. Yah maksudkuselagi aku masih ada disini, setidaknya ia memanfaatkan kesempatan ini untuk berbincang. Urgh, aku sungguh membenci keheningan.

Ia menghampiriku sambil membawa sebuah panci berisikan mie instan yang masih mendidih. Aku membulatkan mataku saat indra penglihatanku berhasil menangkap makanan yang membuatku merasa mual. Aku menutup mulutku dan menoleh agar tidak menatap benda itu lagi. Ia menatapku, seperti menyadari ada yang salah padaku.

"Kau kenapa?" Aku meliriknya lalu kembali berfokus pada rasa mualku.

"Hey, what's wrong with you?" Ia menatapku dan mulai memegang kedua bahuku. Aku menggeleng. Ia menghelakan nafasnya lalu duduk sambil menikmati benda yang baru saja ia masak. Aku terus memandanginya makan dengan lahapnya sambil menggunakan tutup panci itu. Bagaimana bisa ia memakan benda itu sebegitu lahapnya?

"Kau tidak lapar? Jika kau masih tetap seperti itu, Jangan salahkan aku bila ramyun ini habis olehku." Aku masih menatapnya dengan tatapan tak percaya. Benar saja, pria ini merasa risih dengan tatapanku.

"Hey! Kau ini kenapa? Apa ada yang salah?"

"Bagaimana mungkin kau memakan benda itu begitu lahapnya?" Ujarku sambil menunjuk benda itu. Ia mengikuti arah telunjukku.

"Maksudmu ini?" Aku mengangguk. Ia mulai terkekeh.

"Tentu saja, inilah makanan terlezat bagi orang sepertiku."

"Apa?! Yang benar saja?"

"Sudahlah, kau ingin makan atau tidak?" Aku terdiam dan menatap ragu pada benda itu. Jujur, aku belum sempat mengisi perutku sejak kemarin dan cacing-cacing di perutku sudah menuntut untuk diberi makan. Namun, makanan itu..

"Eat or not?" Baiklah, aku menyerah. Aku menarik nafasku dalam-dalam dan mulai meraih sumpit. Sulit bagiku untuk menggunakan sumpit karena sebelumnya aku selalu menggunakan sendok dan garpu. Aku mengambil sedikit dan dengan ragu-ragu memasukkannya kedalam mulutku.

"Oh ayolah! kau itu tidak sedang dipaksa memakan cacing! itu ramyun!" Sial, pria ini benar-benar! Mau ini ramyun atau apa namanya tetap saja rasa traumaku kemarin belum hilang. Aku masih belum memasukkan sehelai ramyun itu ke dalam mulutku. Pria ini kehilangan kesabarannya. Ia melepas nafas gusar lalu meraih sumpit yang ada ditanganku. Ia dengan lincah mengambil mie itu dan mengarahkannya padaku.

"Makan" Aku menatapnya heran.

"I say eat!"

"Hey, kenapa kau memaksaku?!" Ujarku tak terima.

"Karena akan sangat menyusahkan bila ada orang sakit di dalam rumahku." Aku terdiam. lagi-lagi aku dikalahkan oleh perkataanya yang dingin itu. Aku perlahan membuka mulutku dan mulai memasukan makanan itu kedalam mulutku. Aku dengan cepat mengunyahnya lalu menelannya. Setelah itu aku berusaha mencari air.

"Tidak usah berlebihan" Ujarnya sambil memberikan segelas air kepadaku. Aku meminumnya terburu-buru kemudian terdiam sejenak, aku mengecap-ngecap indra pengecapku. kemudian aku memiringkan kepalaku seperti chef yang sedang mengecap makanan. Pria itu menatapku heran.

"Kali ini apa yang sedang kau lakukan?" Ia kembali menghela nafasnya. Aku tak mempedulikan pertanyaanya dan tetap fokus dengan kegiatanku. Ia terus menatapku sambil menopang dagu dengan salah satu tangannya dengan malas.

"Rasanya tidak seburuk yang kupikirkan" Ujarku setelah beberapa menit. Ia kembali terkekeh.

"Jadi kau melakukan hal aneh sedari tadi hanya untuk memastikan rasanya?" Aku mengangguk polos.

"Rasanya begitu berbeda saat kumakan saat itu"

"Benarkah? Dimana kau memakannya?"

"Yep. Dirumah bibiku. Aku baru mengetahui bahwa ramyun itu sudah kedaluwarsa saat aku sudah memakannya beberapa" Pria itu membulatkan matanya tak percaya.

"Bagaimana mungkin kau memakan makanan yang sudah kedaluwarsa"

"Aku tidak tahu. Bibi memberikannya kepadaku saat sudah memasaknya dan aku baru mengetahui jenis makanan seperti ini." Ujarku masih polos. Ia menopang kepalanya seperti orang sakit kepala. Apa yang salah dengannya?

"Pantas saja wajahmu seperti orang asing"

"Kau baru menyadarinya? Aku memang bukan rakyat negara ini, itu sudah jelas dari wajahku."

"Tidak terlalu, Ada nuansa Asia yang muncul pada wajahmu."

"Huh? really?" Pria itu mengangguk.

"Kau memiliki mata yang sedikit sipit dan kulit putih seperti wanita Asia kebanyakan."

"Aneh sekali. Tidak ada yang memiliki darah Asia di keluarga kami." Ujarku sambil memiringkan kepalaku. Suasana kembali hening. Sehun mengabaikan perkataanku, ia sudah tak berniat untuk berbincang denganku dan akupun tak tahu harus membincangkan apa dengannya. Tapi sungguh aku tak menyukai situasi seperti ini.

Langit sudah gelap. Pria itu beranjak dari duduknya lalu pergi menuju ruangan kecil tempat ia bersama jalang itu menghabiskan waktu. Lalu tak butuh waktu lama ia kembali keluar tetapi mengenakan pakaian yang berbeda dan sedikit lebih baik dari sebelumnya.

"Kau mau kemana?" Tanyaku.

"Work" Aku diam sesaat. Kerja dimalam hari? Kerja seperti apa yang ia lakukan?

"Kerja? Pekerjaan seperti apa disaat malam seperti ini?"

"Bukan urusanmu. Sudahlah masuk jika kau tak ingin masuk angin." Ia mendorong kepalaku masuk seperti mendorong barang ke dalam lemari yang sudah penuh.

"Hey, hentikan brengsek!" Matanya membulat sempurnah. Kurasa ia tidak senang dengan perkataanku.

"Kurasa kau harus belajar manner di negeri ini, dilihat dari penampilanmu kurasa kau lebih muda dariku. Di negeri ini, yang lebih tua harus dihormati dan yang muda harus menuruti." Jelasnya panjang lebar. Urgh, ia sudah seperti Miss Kate guru etika ku di London yang sangat membosankan.

"Aku tidak peduli." Ucapku acuh. Pria itu memberikan tatapan tajamnya yang jujur saja err.. berhasil membuatku bungkam.

"Baiklah, baiklah. lalu aku harus memanggilmu apa?" Ia tampak berpikir sejenak.

"Oppa." Aku mengerutkan keningku 'opa?' kenapa mendengarnya saja sudah menggelikan ditelingaku?

"Opa? Apa artinya?"

"Itu panggilan terhadap orang yang lebih tua (laki-laki) untuk wanita."

"Ummm.. bisakah aku memanggilmu dengan panggilan yang lain seperti namamu?"

"Tidak. Mereka akan curiga jika kau hanya memanggil namaku saja. Jika kau memanggilku 'oppa' mereka akan mengira kau sepupuku atau apa" Aku kembali mengerutkan dahi. Apa yang ia maksud?

"Aku akan memanggilmu oppa jika didepan orang lain tetapi jika hanya bersamu aku akan memanggil namamu saja, bagaimana?" Tawarku. Ia kembali terdiam menimbang pendapatku. Kemudian mengangguk seperti setuju.

"Baiklah. Namaku Oh Sehun."

"Namaku Jean Aston." Ia kembali terdiam lagi. Apa lagi sekarang?

"Namamu begitu asing, bagaimana jika kau memakai nama panggilan saja?" Benar juga yang dikatakannya. Lagipula aku sudah kabur dari rumah bibi, tak perlu ditanyakan lagi bila dad sudah mengetahuinya. Akan gawat jika ia menemukanku.

"Baiklah, kalo begitu tentukan namaku." Sehun tampak berpikir lagi. Pria ini semakin lama dipandang semakin mempesona. Sial, apa yang aku lakukan? Aku kembali ke kesadaranku lalu berdehem.

"Areum."

"Huh?"

"Mulai sekarang namamu Areum."

"Baiklah."

"Well, jaga rumah dan berhati-hatilah, Areum."

"Alright, Sehun."

Insane Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang