SEBUAH 'HADIAH' YANG MELEDAK

1.2K 171 34
                                    

Bandara Halim Perdana Kusuma, jam 13:00 WIB.

Setelah berlari-lari selama hampir setengah jam dan naik taksi -karena Eko kasihan pada Rinka-  akhirnya mereka sampai di bandara.

Suasana di sana cukup ramai, orang-orang yang ingin berangkat maupun baru pulang tersebar dibeberapa tempat.

Eko melihat-lihat sekeliling gedung dan melirik Rinka yang mengambil nafas mati-matian. Dia kelelahan karena harus berlari untuk mencari taksi tadi.

"Kemana perginya mobil tadi?" Tanya Rinka

"Apa kau tahu dimana tempat pembagian bagasi?" Eko balik bertanya

Rinka menyeringai "aku tahu"

÷÷÷÷÷
(Rinka POV)

Bagiku, bandara HPK adalah kampung halaman. Dulu aku pernah menginap disini selama hampir dua hari untuk penyelidikan bersama Budi.

Tapi, aku tak cocok dengan lelaki itu. Mungkin tak ada yang cocok dengannya.

Dia sangat dingin, selalu menyendiri, bahkan kalau sudah menyelidiki dia pasti lupa daratan. Tak peduli berapa puluh luka yang mendarat di tubuhnya, dia tetap menerjang.

Entah kenapa, aku merasa beruntung mendapatkan Eko.
Padahal orangnya mesum, nonton pertandingan basket aja yang dilihatin malah sempak cheerleadernya! Hadehhh....parah kuadrat ni anak.

Tak terasa kami sudah berdiri tepat di tempat pembagian bagasi. Koper dan tas penumpang bertumpuk dimana-mana.

"Kita tinggal mencari karung tepung saja" bisik Eko sambil terkekeh

Kemudian dia melangkah ke sisi kanan yang penuh dengan koper. Mata elangnya  menatap tajam tumpukan koper di sudut ruangan. Didekatinya tumpukan itu dan menyingkirkan koper dan tas yang bertumpuk.

"Rinka, aku mendapatkannya!"

Aku menoleh dan mendekati Eko, lelaki itu menunjuk sebuah karung putih yang terlihat berisi.

Tangannya meraba-raba karung dan wajahnya seketika memucat.

"Ada apa?" Tanyaku

Wajahnya semakin pucat. Tiba-tiba saja tanganku digenggamnya dan dia langsung berlari, akupun ikut mengekor dengan terburu-buru.

"Eko!!" Teriakku "ada apa?!"

Eko balas menjawab tanpa menoleh "karung itu berisi bom!!"

÷÷÷÷÷

Bisa kurasakan tangan Eko yang basah karena keringat. Jantungku berdegup kencang mengingat disebelah tempat ini ada beberapa tangki berisi Avtur yang mudah terbakar. Tangki Avtur itu baru didatangkan beberapa menit yang lalu.

Kami bisa mati kalau benda sialan itu sampai meledak.

Aku menoleh ke belakang dan dari arah karung itu keluar setitik sinar merah. Bisa kudengar sumpah serapah yang keluar dari mulut Eko

"Sialan! Bomnya akan meledak" teriaknya

Tiba-tiba dia menghentikan larinya, kemudian berbalik dan menarikku hingga tubuhku goyah dan terjatuh dalam pelukannya.

Dia membalikkan tubuhnya sehingga dia ada di atasku.

BLAAAAAAARRRRRR!!!!

Telingaku serasa mendenging saat mendengar suara ledakan. Aku melihat Eko yang menggertakkan giginya kuat-kuat, matanya menutup dan tangannya memegangi kepalaku dan menahan tubuhku.

Aku melirik ke atas dan melihat atap bangunan yang berjatuhan dan menimpa Eko.

"Eko! Awas!" Teriakku

BRAAAKKK!!

÷÷÷÷÷

Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri saat semua kepingan logam itu menghantam punggung Eko. Membuat lelaki itu memuntahkan darah.

Kemudian asap hitam tebal menguar dari ujung ruangan. Membuat keadaan gelap gulita. Karena aku ada dilantai, aku masih bisa mendapatkan udara segar.

Eko sudah terbaring lemas di atasku, kepalanya menyuruk di bahuku, dan tangannya mengusap kepalaku.

Tanpa kusadari....aku menangis.

Air mata keluar dari mataku, dadaku terasa sesak. Sebegini besarkah pengorbanannya? Aku memarahinya tiap hari. Bahkan terakhir kali aku membangunkannya dari tidur dengan terompet gas. Tapi dia tak marah sedikitpun padaku.

"Sssttt....sudah jangan menangis"

Aku membuka mata dan melihat Eko yang tersenyum. Tangannya terangkat dan mengusap pipiku.

"Jangan menangis dihadapanku, rasanya sakit tau" bisiknya

"Ini semua salahku! Seandainya aku mengatakan semuanya padamu ini tidak akan terjadi!" Ucapku dengan frustasi. Kepalaku serasa berdentum saat mengatakan hal ini. Seperti....ada beban berat yang lepas dari pundakku.

"Jangan salahkan dirimu. Ini salahku yang tak membawa alat pendeteksi bom"

"Mana kau tahu kalau bakal ada bom disini?!"

"Iya juga ya?"

"Lagipula, ini salahku....aku...

Ucapanku terpotong saat Eko mengecup bibirku sekilas, kecupan singkat itu berhasil membuyarkan pikiranku.

"Tidak ada gunanya memikirkan hal yang telah lalu. Sebaiknya pikirkan hal yang sedang terjadi." Bisiknya pelan

Aku melihat wajah Eko yang agak pucat "kau kenapa?"

"Kelihatannya aku....tertusuk sesuatu"

Aku meraba-raba tubuh bagian depannya. Kuharap dia tidak berpikir negatif disaat seperti ini.

Mataku membelalak saat tanganku tak sengaja menyentuh ujung runcing dari sebuah benda -entah benda apa itu-. Tapi saat aku menggerakkan benda itu, Eko berteriak kesakitan

"AKH! SAKIT!!"

"Ma....maaf!" Pekikku sambil melepas tangan dari benda itu.

Eko berguling dari atas tubuhku dan berbaring menyamping. Wajahnya semakin pucat, nafasnya memburu, dan seutas darah mengalir dari mulutnya.

Aku berguling sedikit dan berbaring menghadap ke arahnya dan disaat itu aku sadar bahwa bajuku berlumuran darah.

Aku menatap Eko dengan panik "Astaga Eko! Ini semua darahmu?!"

Dia balas mengangguk "bisa jadi"

Mataku menengok ke arah punggungnya, ada sebuah lempengan besi sepanjang kira-kira empat jengkal tanganku.

"Bisa kau membantuku?" Bisiknya pelan

"Membantu apa?"

"Mencabut besi ini dari tubuhku"

÷÷÷÷÷

TO BE CONTINUED....

Greget? Mau lanjut? Ayo vote dan komennya! :)




My Beautiful Demon (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang