Suatu Amanat

1.8K 173 7
                                    

Terenggut secara paksa, terasa begitu memilukan.

Tak ada yang bisa menyalahkan takdir memang, semua sudah tertulis oleh Nya sejak seorang insan berada dalam kandungan ibunda. Begitu juga bagi Avisa, demi menentramkan jiwa kakeknya. Lamaran dadakan yang tak pernah dibayangkan, dengan pasrah diterimanya. Selagi kakeknya masih bisa menyaksikan dirinya menikah, meski dalam kondisi seperti ini.

Tak ada kebaya cantik yang
dikenakannya, ataupun berbagai seserahan, serta pernak-pernik khas penikahan pada umumnya. Avisa masih menggunakan kemeja lusuhnya. Dan ditangan Alya hanya terdapat kotak kecil berwarna merah, yang kemungkinan menjadi mahar pernikahan dadakan ini. Saat ijab kabul akan dimulai, Avisa sama sekali tidak terlihat berminat, meskipun ini adalah pernikahannya sendiri. Pernikahan yang tak diimpikan lebih tapatnya.

Berkali-kali Kalvin menarik napasnya. Disini, didalam ruangan kecil inilah dirinya akan berikrar atas gadis yang duduk disamping ranjang pasien, dan sejak tadi juga tak mau menatapnya. Dalam mimpi pun, Kalvin tak pernah membayangkan akan menikah diumurnya yang masih dua puluh dua tahun. Mengemban tanggungjawab sebagai kepala keluarga.

Status barunya nanti, akan membuat Kalvin tidak bisa lagi bersikap seperti mahasiswa biasa pada umumnya. Dirinya harus menjaga, menafkahi dan menjadi pelindung bagi Avisa. Sekali lagi dari sudut matanya, Kalvin melirik gadis yang sebentar lagi menjadi istrinya. Sama sepertinya, wajah kepasrahan itu begitu terlihat disana. Kalvin tau, pasti saat ini Avisa tengah merencanakan aksi balas dendam padanya nnati. Mengingat tatapan penuh amarah itu belum sepenuhnya hilang.

Kalfa menyuruhnya mendekat. Disini sudah ada wali hakim yang akan mewakili Wanto sebagai wali Avisa. "Kamu sudah siap?" pertanyaan itu tidak butuh jawaban. Karena apa pun jawaban Kalvin, ayahnya tetap akan menikahkan mereka sekarang juga.

"Ingat namanya Vin, Avisa Chavali Audri binti Bhatara Audri" bisik bunda yang sejak tadi terus berada disampingnya, seolah memberikan kekuatan untuk puteranya.

Kalvin duduk mendekati sebuah meja kecil berlasakan tamplak putih, dibalasnya uluran tangan penghulu. Dan terucaplah kalimat ijab dari penghulu dan hentakan tangan kecil, sebagai tanda Kalvin berganti mengucapkan qobul.

"Saya terima nikah dan kawinnya Avisa Chavali Audri binti Bhatara Audri dengan maskawin tersebut dibayar tunai" kalimat sakral itu mengalir lancar dari bibirnya.

Bersamaan dengan seruan kata "Sah" dari semua orang yang ada.
Saat doa baru saja akan dibacakan terdengar bunyi elektrokardiograf yang memekik telinga. Teriakan Visa yang terus memanggil kakeknya, agar mau melihatnya barang sebentar saja. Jerit tangis pilu yang begitu menyayat hati Kalvin, dirinya benar-benar merasa brengsek sekali. Merenggut seseorang yang menjadi satu-satunya teman bagi Avisa. Entah hukuman apa yang pantas diterimanya, biarlah Avisa sendiri yang memuskannya nanti.

@@@

Takdir seperti apa yang kini mempermainkannya. Dirinya sudah cukup bersabar menghadapi segala kehidupan yang sepertinya tidak pernah berpihak baik padanya. Sejak kecil, Avisa sudah ditinggal kedua orangtuanya, dirinya tumbuh dengan limpahan kasih sayang kakeknya. Sederhana, sangat-sangat sederhana kehidupan mereka, Avisa memutuskan untuk bekerja menggantikan kakeknya yang sudah sakit-sakitan. Dia cukup bersyukur dengan kehidupan mereka berdua.

Tapi sekarang, lihatlah tumpukan tanah itu perlahan-lahan menutupi tubuh tua kakeknya. Avisa masih menangis histeris, merengek meminta agar dirinya juga ikut masuk kedalam pelukan bumi menemani sang kakek. Alya dan Kalfa yang sedari tadi memeganginya, semakin memperkuat pegangan mereka. Kalvin menjadi salah satu orang yang ikut membaringkan Wanto ditempat istirahat terakhirnya. Dirinya baru beranjak naik dari liang, saat tanah sudah mulai setengah menutup.

Magnificent DestinyWhere stories live. Discover now