Toko roti kian hening, karena sudah mencapai pukul tujuh malam melewati senja hari terus memanas. Meredakan segala panas mendera, berdiri diterpa AC selalu menyejukkan badan biarpun nanti akan terasa sakit bila terkena flu disertai batuk.
Gladys, semakin terlarut dalam pikiran, membayangkan sosok gadis kecil hingga dirinya tak menyangka ada jejak basah di lengannya dan mencium sesuatu tak layak untuk diendus. Ternyata bau pesing balita cantik, secantik mata bulat dan rambut coklat keemasannya.
Buru-buru Gladys membersihkan diri, bersamaan selesainya dress gadis kecil itu di toko laundry sebelah tokonya. Bau menyengat hilang ketika dirinya menyemprotkan parfum seharga dress malam, dihargai ratusan ribu.
Well, sebelum menebak, pusat pikiran Gladys ada di tangan pria ganteng berparas gagah nan tampan. Dilerai sang ayah menunjuk bau aneh di lengan dan baju dikenakannya, menyuruhnya cepat-cepat membereskan setelah tutup toko pada akhirnya.
Gladys terus memikirkan bagaimana perasaan Glory, gadis dalam otak Gladys. Apa ia baik-baik saja? Ataukan menangis terus menerus?
Kesalahannya adalah fatal, membiarkan Glory menahan sakitnya pada badannya dan aroma tak enak keluar dari mulutnya. Entah mengapa kegelisahan itu semakin hari berubah semakin tak menentu.
"Yah," panggil Gladys di depan kasir. "Apa orang itu membawa Oli ke Rumah Sakit terdekat?"
Ayah Gladys, sedari tadi tak bergerak hanya tertuju pada bon dan nota, mendongakkan kepala dan tersenyum menenangkan.
"Rumah Sakit mana lagi selain Wolden Hospital di wilayah ini, dear." Ayah Gladys bersidekap, menuntut jawaban lewat pertanyaannya. "Berkeinginan menjenguknya?" tanya Ayah Gladys.
Gladys memutar jari jemarinya, gugup. Sehingga Gladys mengangguk saja tanpa menggerakkan bibirnya. Ayah Gladys tersenyum memahami.
"Ke sanalah, dear. Mungkin kedatanganmu bisa menyembuhkan gelisah dan rasa bersalahmu," imbuh Ayah Gladys kembali menunduk, mengamati bon dan nota.
Senyum cerah merekah di bibir Gladys, mengangguk cepat. Dirinya pun berbalik setelah meraih jaket menghalau dingin serta kunci motor scoppy kesayangannya.
Ayah Gladys hanya terkikik dalam hati.
***
Membuka mata perlahan, meradang sedikit akibat kakunya sang tubuh. Menghirup oksigen sebanyak mungkin, walaupun hidungnya tersemat selang infus, memudahkan mengaliri cairan berupa asupan energi. Jari mungilnya pun tergerak membangunkan seseorang.
"Eergh," erang Glory, sangat kecil.
Kakunya tubuh, dari sebab pingsan tak diingatnya. Glory, menggoyangkan beberapa anggota tubuh dan membawa secercah harapan di wajahnya ketika sekilas menampakkan raut wajah cemas Edward Golden.
"Dad ... dy," ucap Glory parau.
Dengan menggenggam tangannya yang mungil, Edward bersyukur pada Tuhan telah mengembalikan Glory ke hadapannya. Membayangkan Glory tak bangun dari mimpinya saja, membuat Edward frustrasi.
"Di sini, honey. Daddy selalu ada di sini," jawab Edward sambil mengecup dalam-dalam punggung tangan Glory bebas dari selang infus.
"Atit, Daddy," ringis Glory menunjukkan ke lengan digamit erat oleh sang Ayah.
"Oh, sorry, honey." Edward menaruh tangan Glory hati-hati. "Daddy tidak sengaja," tambah Edward.
Sakit di tenggorokannya membuat Glory histeris ingin berteriak marah. Gadis kecil itu terus mengerang melalui suara serak paraunya, membikin Edward senantiasa beradu cepat memberikan dot kecil agar Glory leluasa meminumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
G O L D E N ✔️
Ficción GeneralKisah si kecil mencari istri terbaik buat Daddy dalam sehari. Saksikan sendiri sepak terjang Glory kini telah direvisi usia dan perkataannya. ----- Copyright © 2015