[nine]

15.8K 926 23
                                    

Mereka berdua masih saling menekan dan menyentuh benda lembut satu sama lain. Sekitar mereka jadi gelagapan, mendadak menangkan situasi begitu rumit. Lagi pula ini kesalahan tidak disengaja.

"Errr ... aku tidak tahu ada sosok lain di balik badanmu, Ed," ucap Joshua sepersekian menit terdiam, menggaruk-garuk kepala. "Dan, sampai kapan kamu terus menciumnya? Ini sudah lewat lima menit, Ed," canda Joshua sengaja.

Bibir itu terlepas. Rasa manis seakan melekat di bibir ranum, sepantaran naik ke otak sekadar mengonfirmasi betapa nikmat sejati ciuman mereka lakukan.

Edward, tengah salah tingkah. Gerakannya gelisah, mau tak mau diintip sedikit Gladys yang terpaku dengan mata dan mulut membuka. Oh, rasanya dunianya jadi terhenti.

"Daddy!"

Spontan, Edward dan Gladys kembali ke masa kini. Mereka buru-buru menghampiri kamar secara bersamaan sampai keduanya terjepit pintu, menghalangi ketiganya terus-terus melongo tak percaya.

"Minggir!" desak Gladys tak sabar.

"Justru kamu yang minggir!" balas Edward.

"Saya harus bertemu Oli!"

"Siapa yang menyuruhmu?"

"Oli 'kan, sudah sadar makanya saya mau bertemu."

"Tapi, Glory memanggilku."

Tarikan kencang di kerah masing-masing mengagetkan keduanya, mereka terperangah dan terhuyung mundur. Seketika, saking refleksnya Edward melindungi Gladys dengan tubuhnya seakan takut Gladys terluka. Hal ini membuat Gladys terpekur tidak berdaya.

"Hey, bocah-bocah di dalam tubuh orang dewasa," bentak Joshua menunjuk mereka satu-satu. "Bisa tidak kalian hentikan. Kalian itu bukan anak kecil minta dilayani dan dilerai macam seperti ini."

"Daddy! Oli lapal!" teriak Glory dari dalam ruangan.

Tanpa disuruh, Edward bergegas melangkah masuk menemani Glory. Di situ, ada dokter Peter sedang mengecek kondisi kesehatan Glory yang sudah semakin membaik walau fisiknya masih putih kebiruan.

"Adish." Glory dapat kejutan saat melihat sosok di belakang Edward yang meringis tatkala pandangan anaknya beralih. "Adish, cini. Oli au hug Adish."

Lidahnya kelu, tak bisa bicara banyak apalagi dengan keadaan Glory yang lemah. Gladys, hanya pasrah saja ketika tubuhnya bergerak menghampiri Glory dan merentangkan tangannya untuk memeluknya.

"Oli angen Adish," ujar Glory lemah.

"Kakak juga rindu Oli."

Sepenggal kenyataan meruntuhkan tembok bata tak kasat mata Edward. Sesungguhnya kenyataan bahwa Glory kenal Gladys benar-benar memuntahkan hasratnya yang penasaran hingga membuat Gladys tak bisa berbuat apa-apa.

Gladys masih memeluk Glory, seraya membelai rambut Glory yang cokelat keemasan. Sungguh, Glory senang kehadiran Gladys dan berharap Gladys terus berada di sampingnya bergeming tanpa meninggalkannya.

"Glory kenal perempuan ini?" Joshua angkat bicara ketika sejenak diberi keterdiaman sesaat. "Uncle baru tahu ada perempuan secantik ini, mirip peri di kisah fantasi."

Jitakan berujung ke batok kepala Joshua, menyadarkan bahwa tingkah usilnya belum berubah. Joshua, dari dulu sifatnya selalu mengutarakan isi pikiran ketika memandang objek menjadi penentu kenyataan secara gamblang. Makanya tidak heran, Agnes dan dokter Peter menggeleng jengah atas kelakuannya.

"Aku kenapa dipukul?" tanya Joshua mendelik sinis Edward. "Aku 'kan, hanya menjelaskan sesuai ekspetasi apa yang baru aku lihat."

"Kamu terlalu banyak bicara," decak Edward.

G O L D E N ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang