[two]

17.5K 1.2K 23
                                    

Pagi hari merentangkan kepiawaian, menusuk tulang belulang dengan udara tak kentara. Mengembuskan ke sisi, ke tempat tidak seharusnya. Semoga tidak masuk angin.

Pintu terbuka perlahan tanpa diserbu derit pintu, menampakkan bocah beraroma wewangian khas balita. Berusaha menaikkan diri ke ranjang dengan tangan mungilnya meremas kuat seprai. Pantat montok dibalut pampers dinaikkan sekuat tenaga. Akhirnya telah mencapai tujuan.

Duduk bersimpuh menatap gundukan tubuh di balik selimut warna abu-abu, bocah kecil itu pelan-pelan duduk di atas punggung lelaki sedang tengkurap, tanpa rasa berdosa.

"Daddy! Daddy!" teriak Glory, si bocah kecil. "Angun! Ji-Ma* acak macan! Ayo, Daddy, angun!" lanjut Glory melompat-lompat di atas punggung Edward menggunakan pantat montoknya.

"Errgh," erang Edward menggeliat merasa sakit seolah itu bukanlah mimpi buruk.

Glory mendekatkan mulutnya ke muka bantal Edward di sisi kanan. "Daddy! Ada macan!"

Refleks Edward bangun, mengerjapkan matanya berkali-kali dan mengusap kening agar tidak terlalu pening. Namun, merasakan bahwa tidak ada beban di punggungnya, Edward berbalik.

"Glory!"

Gadis kecil tadi bersarang di atas punggung, kini ada di bawah tempat tidur. Mungkin akibat Edward bangun, Glory terguling-guling hingga menyusut ke bawah tanpa ada tangisan maupun jeritan.

"Auuh, Daddy kecam!" ringis Glory mengusap pipinya terantuk karpet tebal.

"Maksudnya kejam?" ralat Edward menutup mulutnya kalau terdengar Glory kata itu. "Maafkan Daddy, honey. Daddy tidak lihat kamu."

Glory lantas berdiri, merapikan rok kembangnya yang kusut. "Ji-Ma uyuh Oli mangil Daddy, tapi Daddy ndak angun-angun."

Kosa kata dituturkan Glory baru seperempat diketahuinya. Anaknya satu ini, dibuat belajar pelan seolah hal berbau kasar sangat rancu untuknya. Tidak cocok untuk dimengerti bagi anak belum dewasa ini.

"Daddy buka baju? Dingiiin!" geli Glory memeluk tubuhnya sendiri mengundang decak tawa Edward.

Tahu maksud sang anak, Edward bergegas turun dari ranjang menuju kamar mandi. Glory mengerti bahwa sang Daddy butuh privasi, Glory berlalu pergi tanpa menutup pintu. Mana mungkin Glory meraih gagang pintu, padahal tadi Glory setengah mati meraihnya.

***

"Morning, Mam, Pap."

Sapaan Edward disambut antusias dari kedua orang tuanya, kecuali Glory disuapi oleh adik Edward, Sella Golden. Edward duduk di sebelah Glory memakan makanan masih di dalam mulut, menoleh ke arahnya dengan mulut penuh.

"Daddy, api!" rengek Glory dengan pipi kembung.

"Suapi," koreksi Edward memangku sang anak. "Habiskan dulu makananmu, honey. Nanti tersedak baru tahu rasa kamu."

"Edward!" bentak Mama Edward, Lusiana, melotot tajam.

Anak sulung Lusiana memberengut, meminta maaf lewat sorotan mata. Tangan Edward naik buat mengusap rambut halus Glory lantas menciumnya penuh kasih sayang.

"Maksud Daddy, habiskan makanan kamu baru Daddy suapi," ujar Edward mengganti kalimatnya, Glory pun mengangguk sambil menguyah pelan. "Kuyahnya juga pelan-pelan, honey."

"Kamu mau ke mana setelah ini?" tanya Papa Edward, Arthur Golden. "Ada janji, euh?"

"Biasalah, Pap." Edward salah tingkah. "Hari Minggu seperti ini saatnya bersenang-senang."

Glory menelan makanannya susah payah, akhirnya mencernanya juga meski meraih gelas kecil untuk ukurannya dari tangan Sella. Lalu, kepalanya mendongak menatap Daddy-nya penuh harapan.

G O L D E N ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang