"Pak Gavin?" Amia memastikan. Sambil memperhatikan. Celana abu-abu dan kemeja hitam lengan panjang. Suram, Amia menghakimi dalam hati. Tapi seksi, dengan berat hati Amia menambahkan. Menurut perkiraan Amia, laki-laki itu mungkin seumuran dengan Adrien, kakaknya.
"Ini dari Pak Erik." Amia tidak bisa menjelaskan isinya karena tadi lupa bertanya pada Erik. Gara-gara buru-buru ingin tebar pesona di lantai produksi.
"Apa ini?" Seperti yang sudah diduga Amia, Gavin pasti bertanya. Full of authority. Suaranya menuntut untuk diperhatikan. Seandainya sekarang mereka sedang berada di sebuah auditorium yang penuh sesak, Amia yakin ruangan tersebut akan senyap dan semua orang pasti mendengarkan dengan tenang apa saja yang dikatakan Gavin.
"Saya tidak tahu, Pak."
"Bapak buka saja." Amia menyarankan dan berusaha untuk tersenyum. Senyum yang sering membuat laki-laki menjadi terlalu ramah padanya, semoga berfungsi juga pada Gavin.
Isinya kunci mobil, kunci rumah, kartu akses, plus selembar kertas. Kenapa Erik menyuruh mengurus hal-hal seperti ini? Amia mengeluh dalam hati.
"Apa kamu tahu alamat ini?" Gavin menunjukkan kertas putih itu kepada Amia.
"Tahu, Pak." Sejak lahir dia tinggal di sini, tentu saja tahu.
"Antar saya ke sana." Gavin berdiri. Memang ada GPS. Pengisi suaranya juga wanita. Tapi kalau tersedia GPS alami—penduduk lokal—yang menarik dan cantik seperti ini, semua laki-laki akan melupakan software navigasi tersebut. Gavin tersenyum dalam hati. Memuji dirinya atas keputusan cerdas yang baru dibuatnya.
Otomatis Amia memanfaatkan kesempatan ini untuk memperhatikan postur tubuh Gavin. Mungkin laki-laki itu benar-benar David versi manusia. Bahu dan dadanya lebar. Perutnya tidak menyembul sama sekali. Lengannya padat. Kakinya panjang. Kulitnya cokelat. Tidak putih seperti Riyad, yang malas kena sinar matahari.
"Sekarang, Pak?" Dalam kepalanya, Amia memperkirakan selisih tinggi badan dengan atasan barunya. Sepatu sepuluh sentinya seperti tidak banyak membantu untuk membuat tinggi badannya—yang hanya 161 cm—naik secara signifikan.
"Iya. Kamu keberatan?" Nada bicaranya seperti mengancam, kamu berani menolak?
"Iya." Amia menjawab dengan jujur. "Ini bukan jobdesc saya, kebetulan orang yang seharusnya mengurus ini sedang tidak masuk jadi supervisor saya minta tolong."
"Ya, supervisormu sudah menyuruhmu ke sini, sekalian saja. Namamu siapa?"
"Amia."
"Tunggu di sini." Gavin berjalan ke mejanya.
Siapa yang kuasa menolak? Meskipun berusaha tidak terbawa pesonanya, laki-laki itu tetap atasannya. Amia kembali menjatuhkan pantat di sofa.
"Pak Peter."
Dengan horor Amia menoleh ke arah Gavin yang sedang bicara di telepon. Dia menelepon kepala departemen Amia.
"Saya ingin minta bantuan dari salah satu pegawai Bapak. Namanya Amia."
Sial betul orang yang namanya Gavin ini, Amia mengerang dalam hati.
"Sudah diizinkan." Gavin berjalan keluar mendahului Amia. Mau tidak mau, Amia mengekor di belakangnya.
"Kalau ada telepon, tolong bilang saya keluar, ya." Gavin berpesan kepada Melina yang sudah duduk lagi di kursinya. Yang diiyakan sambil tersenyum lebar oleh Melina.
"Turun dulu, Kak." Amia pamit kepada Melina.
"Sering-sering ke sini, Am." Melina menjawab, masih dengan ceria.
KAMU SEDANG MEMBACA
BELLAMIA
RomanceDari penulis A Wedding Come True dan My Bittersweet Marriage: *** Gavin jatuh cinta pada Amia, pegawainya yang meyakini bahwa karier dan cinta tidak boleh berada di gedung yang sama, dan Gavin harus berusaha keras untuk mengubah pandangan Amia, demi...