"Mampir dulu, ya. Ada orang mau datang memperbaiki TV cable." Gavin berbelok menuju rumahnya.
"Oh, okay."
Amia tidak tahu harus membicarakan apa dengan Gavin. Sejak tadi yang dia lakukan hanya melamun. Laki-laki ini juga tidak tampak ingin mengajak bicara. Ini benar-benar berbeda dari semua kencan yang pernah dia lakukan. Kencan pertama dengan Riyad dulu dilakukan seperti orang pada umumnya. Makan. Nonton. Pulang. Dia tidak tahu seperti apa definisi kencan untuk laki-laki seusia Gavin. Apa dia sengaja membawa Amia ke rumahnya?
Amia mengikuti Gavin turun dari mobil.
"Kamu masuk dulu." Gavin memberikan kunci rumah lalu bicara dengan dua orang laki-laki yang tiba bersamaan dengan mereka.
Apa yang harus dia lakukan di dalam sana? Amia membuka pintu dan menyalakan lampu. Di belakangnya, Gavin masuk bersama dua laki-laki tadi dan mereka berdiri di samping televisi. Karena tidak enak duduk sambil menonton mereka bertiga, Amia memilih menyingkir ke dalam. Rumah ini tidak luas. Terdiri dari dua kamar tidur, ruang tamu yang ada televisinya, dan dapur yang merangkap ruang makan. Langkah kakinya sampai di depan pintu kamar Gavin yang terbuka. Berantakan. Kaus. Laptop. Hard disk drive. Buku-buku. Majalah.
Setelah berdebat dengan diri sendiri, apakah masuk ke kamar laki-laki berbahaya atau tidak, sopan atau tidak, Amia melangkah masuk dan mengedarkan pandangan. Dia duduk di tempat tidur, satu-satunya tempat yang bisa diduduki, dan menyalakan televisi. Kalau Gavin tinggal sendirian kenapa dia punya dua TV?
Semut semua. Amia mengeluh dan mematikan televisi.
Amia berbaring dan membaca Twitter, tertawa membaca update Vara.
Good luck on your first date
Amia tidak membalas, anggap saja Vara bukan sedang no mention dirinya. Jarinya bergerak untuk menyalakan musik dari pemutar musik di ponsel. Dia perlu membuat dirinya rileks untuk menghadapi Gavin. Melihat Gavin sore ini membuatnya sedikit gila. Ralat. Setiap melihat Gavin selalu membuatnya sedikit gila. She has a thing for big guy. He would make her feel protected when she is in his arms. Karena tinggi Amia 161 cm dan suka pakai high heels, Amia selalu menginginkan punya pasangan tinggi badannya lebih dari 165 cm. Gavin mungkin sama tingginya dengan Adrien, Amia memperkirakan.
And, God, facial hair. His stubble is hot.
***
"Amia." Gavin menyentuh lengannya. "Bangun. Kamu harus pulang."
Amia membuka mata dan melihat Gavin duduk di tepi tempat tidur.
"Ngantuk...." Amia memejamkan mata lagi.
"Sudah malam. Nanti aku dibunuh Adrien." Gavin tertawa.
"Hmmm? Jam berapa?"
"Sepuluh." Setelah urusannya selesai dengan teknisi tadi, Gavin membiarkan Amia tidur. Dia tersenyum saat masuk ke kamar dan melihat Amia tidur pulas di kasurnya.
"Lima menit lagi...."
Mendengar suara Amia yang manja, Gavin tidak bisa menahan diri lagi. Dia menundukkan kepala dan mencium bibir Amia. Tidak ada reaksi apa-apa. Amia tidak membalas ciumannya. Ketika Gavin menjauhkan kepala, dia melihat mata Amia sudah sempurna terbuka.
"Jadi begini cara membangunkan kamu?" Gavin tertawa pelan.
"Mana ada laki-laki yang nyium teman kencannya di kencan pertama?" Amia langsung bangun dan duduk. Wow! Perkembangan yang terlalu cepat.
"Mana ada wanita yang ketiduran saat kencan pertama?" tukas Gavin, tidak mau salah.
Amia sendiri tidak tahu kenapa matanya berat sekali saat memikirkan Gavin tadi. Akhir-akhir ini dia sulit tidur karena memikirkan masalah kencan dengan Gavin. Tiba-tiba, saat berada di sini, kasur Gavin terasa nyaman sekali di punggungnya. Ada aroma menyenangkan milik Gavin. Seperti Amia tidur dalam pelukannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BELLAMIA
RomanceDari penulis A Wedding Come True dan My Bittersweet Marriage: *** Gavin jatuh cinta pada Amia, pegawainya yang meyakini bahwa karier dan cinta tidak boleh berada di gedung yang sama, dan Gavin harus berusaha keras untuk mengubah pandangan Amia, demi...